Posted by : Unknown
Kamis, 24 April 2014
Agama
Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan
bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja
melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang
berkenaan dengan kerja.
Rasulullah
SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya,
dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam
ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang
kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat
bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru
berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal
dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja
yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan
dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang
telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
B.
Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap
ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai
yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper
mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik
buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam
al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang
sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim
adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun,
para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan
pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk
memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran,
maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus
(QS. Ash Shaad : 22)
Pengertian
Kerja
Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah.
KH.
Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Lebih
lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di
dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan
yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja
tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan
hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan
kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak
kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1.
Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja)
di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2.
Kata ‘amal (perbuatan)
kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3.
Kata wa’amiluu (mereka
telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19
dan an-Nur: 55.
4.
Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti
dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5.
Kita temukan sebanyak 330 kali
kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu,
‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya
dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur:
21.
6.
Terdapat 27 kata ya’mal,
‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7,
Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7.
Disamping itu, banyak sekali
ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a,
yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya
ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di
samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari
iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman,
Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada
juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya
firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna
memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam
surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah: 10)
Pengertian
kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah
pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini,
sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan
menerima upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan
seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun
kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan
majikan, kondisi semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang
seringkali memunculkan konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang
menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep
klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam,
konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki
penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan
yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja
dapat ditarik pada garis tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang
memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai
yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga
lainnya.
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :
1)
al-Hirafiyyin; mereka yang
mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik
restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang
bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2)
al-Muwadzofin: mereka yang
secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan
dan pegawai negeri.
3)
al-Kasbah: para pekerja
yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti
pedagang keliling.
4)
al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian
tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah
SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda,berikanlah upah pekerja
sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan
Thabrani).
Pendapat
atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil
kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain
disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat
memuaskan kedua belah pihak.
C.
Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang
melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).”
(HR. al-Baihaki) Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas,
rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi
keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana
dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan
kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan
muatan ketaqwaan. Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk
mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh
diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan
Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu
tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi
rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya
niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat
pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan
sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima
merasa tersakiti hatinya.
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264) Keterkaitan ayat-ayat di
atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun
bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara
taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan
kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu
kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut
sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan
barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai
tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama,
yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh
oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang
zaman.
Jika
bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah
serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan
semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki
motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu
memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang
berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal
yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut
:
- Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan
akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat.
Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan
bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan
Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis
rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang
pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
- Berusaha dengan cara yang halal dalam
seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
- Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat
produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
- Islam tidak membolehkan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan
hal-hal lain yang diharamkan Allah.
- Professionalisme yaitu kemampuan untuk
memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian.
Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif
serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai
pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami
kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas
bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat
produksi.
D.
Kesimpulan
Ethos
kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha
Allah SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh
keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. (2) Berusaha
dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak memaksakan
seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI.
Anonim,
1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani.
Anonim,
1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab,
1998, Wawasan al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I
Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan