Posted by : Unknown
Kamis, 14 November 2013
Kerja
masyarakat (“community work”) sebuah profesi, sebagian melihat sebagai
satu aspek dari suatu profesi atau pekerjaan lain seperti kerja sosial atau
kerja kaum muda, sebagian melihatnya sebagai anti profesional; sebagian
melihatnya sebagai masyarakat yang berkumpul untuk meningkatkan lingkungan
pertetanggaan mereka; sebagian melihatnya dalam arti yang lebih ambisius
seperti memperbaiki ketidak adilan sosial dan mencoba membuat dunia menjadi
tenpat yang lebih baik (Kenny, 1999).
Istilah
– istilah kerja masyarakat, pengembangan masyarakat, pengorganisasian
masyarakat, aksi masyarakat, praktik masyarakat, dan perubahan masyarakat biasa
digunakan, sering kali saling dipertukarkan, dan walaupun banyak yang mengklaim
bahwa terdapat perbedaan – perbedaan yang penting antara sebagian atau semua
istilah tersebut, tidak ada kesepakatan dalam apa perbedaan – perbedaan itu,
dan tidak ada consensus tentang berbagai perbedaan makna yang diimplikasikan oleh
setiap istilah tersebut.
Penyebab
utama dari banyak kebingungan, dan ketidakcukupan yang tampak dari apa yang
diterima sebagai teori kerja masyarakat, adalah bahwa kerja masyarakat tidak di
tempatkan selayaknya dalam kontek sosial dan politiknya, atau dikaitkan pada
suatu visi sosial yang diartikulasikan dengan jelas, dengan suatu cara yang
analisisnya berhubungan dengan aksi dan praktik ‘kehidupan nyata.
Istilah
yang belakangan ini dipandang sebagai proses pembentukan, pembentukan kembali,
struktur – strukrur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru
dalam mengaitkan dan mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan
manusia. Dalam konteks ini, kerja masyarakat dilihat sebagai kegiatan, atau
praktik dari seseorang yang berusaha memfasilitasi proses pengembangan
masyarakat tersebut, baik dengan cara orang itu dibayar maupun tidak dalam
melakukan peran tersebut.
PEMBAHASAN
A. Krisis Dalam Negara Kesejahteraan.
Sejak
awal tahun 1980an telah terdapat kesepakatan substansial diantara para penulis
kebijakan sosial bahwa Negara kesejahteraan telah memasuki suatu periode
krisis, Negara kesejahteraan dalam
masyarakat barat sudah tidak sanggup memberikan semua janji – janji pada masa
consensus yang optimis paska perang.
Krisis
legitimasi Negara kesejahteraan sebagian disebabkan oleh krisis sumber daya /
fiscal (O’Connor, 1973), perlambatan pertumbuhan ekonomi memberi beban yang
jauh lebih besar kepada pemerintah – pemerintah, dan pada saat yang sama
meningkatkan permintaan public akan layanan – layanan Negara kesejahteraan
melalui tingkat – tingkat pengangguran dan kemiskinan yang lebih tinggi.
Pengaruh
krisis dalam Negara kesejahteraan jelas terlihat pada level pemberian layanan,
pemotongan layanan – layanan public yang terus terjadi, pengurangan mutu
layanan yang disebabkan oleh para pekerja yang terlalu terbebani untuk
melakukan lebih banyak hal dengan lebih sedikit sumber daya, daftar tunggu, dan
periode tunggu yang lebih panjang, kurangnya akses kepada layanan kesehatan,
penurunan sistem pendidikan public, moral staf yang rendah, kepenuhsesakan, dan
perasaan kurangnya percaya diri yang umum dalam memenuhi kapasitas sistem
public.
1. Tanggapan Terhadap Krisis.
a. Mempertahankan
dan membangun kembali Negara kesejahteraan.
Tanggapan
ini mendesak untuk menekankan kembali nilai – nilai demokrasi sosial dan
kolektivis yang pernah mendukung pengembangan Negara kesejahteraan pada era
paska perang, dan berupaya untuk membangun kembali visi sistem yang lebih adil,
berdasarkan atas prinsip – prinsip kemanusiaan, kesetaraan, redistribusi
progresif, mengayomi dan keadilan sosial, yang provisi layanan – layanan
kemanusiaannya kuat kepada public dilihat sebagai tanda dari sebuah masyarakat
yang beradab.
b. Paham
‘new right’ neoliberalisme (rasionalisme ekonomi) dan privatisasi.
Pendekatan
ini bertujuan membongkar struktur – struktur Negara yang diperuntukan bagi
provisi layanan public, dan menggantinya dengan kegiatan sector swasta yang
dikendalikan oleh pasar. Hal ini berada dalam keyakinan bahwa pasar, dengan
sedikit atau tanpa regulasi adlah mekanisme terbaik untuk provisi layanan –
layanan kemanusiaan, karena hal ini memksimumkan efisiensi, mendorong kompetisi
dan memaksimumkan pilihan individual dan akuntabilitas kepada konsumen.
c. Manajemen
public yang baik.
Hal
ini muncul dari keyakinan bahwa sector pablik sangat tidak efisien dan
membutuhkan perombakan besar.
d. Korporatisme.
Pendekatan
korporatis cenderung memecahkan penghalang – penghalang tradisional antara
provisi swasta dan public seperti pada manajemen public yang baru, departemen –
departemen pemerintahan didorong untuk menyamai atau melebihi sector swasta
(korporatisasi) dalam hal struktur, praktik manajemen, pemasaran layanan,
kewiraswastaan, dan kebijakan ketenagakerjaan. Pendekatan ini dapat mengarah
kepada pembentukan badan – badan yang tidak dapat dengan jelas ditetapkan
sebagai public atau swasta, bergantung pada pendanaan baik dari Negara maupun
pasar, dengan akuntabilitas baik kepada pemeritah maupun kepada independen.
e. Tanggapan
sosialis.
Penulis
dengan perspektif yang lebih Marxis memandang krisis Negara kesejahteraan ini
sebagai suatu manifestasi dari krisis dalam kapitalisme. Negara kesejahteraan
dilihat telah tumbuh beriringan dengan sistem kapitalis, sebagai bagian
integral, dan sebagai mekanisme esensial untuk memelihara orde kapitalis.
2. Ketidakcukupan Tertentu Dari Tanggapan Paham Paham
Arus Utama Dan Sosialis.
Kesulitan
menghadapi kritik bahwa struktur – struktur birokrasi yang besar dan terpusat,
yang merupakan konskuensi dari suatu sistem Negara kesejahteraan yang tak dapat
dihindari, tidak efektif dan tidak efisien dalam memberi layanan kemanusiaan,
dan bahwa struktur – struktur tersebut justru mendehumanisasi, mengucilkan dan
melemahkan mereka yng maksudnya dilayani. Selain itu, lemahnya landasan
teoritis dari pendekatan demokrasi sosial terhadap kesejahteraan telah membuat
para pembela Negara kesejahteraan terbuka untuk diserang baik dari kanan maupun
kiri; disini dapat dkemukaan argumentasi bahwa hanya pada era consensus paska
perang landasan – landasan ideology Negara kesejahteraan dapat tetap utuh, dan
consensus ini telah lama tiada.
Pasar
bebas cenderung memperburuk, bukan mengurangi ketidakadilan sosial dan ekonomi,
dan atas nama kompetisi dan individualisme, pasar bebas meniadakan nilai –
nilai kepedulian, solidaritas sosial, kohesi dan komunitas.
3. Bahaya ‘New Right’ dan Korporatisme
Bahaya ‘New Right’ dan Korporatisme adalah penting
bagi pekerja pengembangan massyarakat untuk menyadari adanya bahaya-bahaya ini,
karena hal ini merupakan aspek penting dari konteks kontemporer pengembangan
masyarakat dan layanan-layanan berbasis masyarakat. Pada hakikatnya,
bahaya-bahaya tersebut terletak pada transformasi neoliberalisme dari sumber
daya sosial menjadi barang-barang privat yang diperjualbelikan.
4. Visi-visi Terbatas dan Kebangkitan Individualisme
Erosi komunitas dan peningkatan konsentrasi kekuatan
ekonomi global telah mendorong peningkatan individualisme, terutama dalam
masyarakat Barat. Di sana, nilai ditempatkan pada individu dan capaian
individual. Kegagalan berprestasi dikaitkan dengan kekurangan individual.
Penghargaan kepada capaian individual memperkuat kompetisi di atas kooperasi.
Kompetisi selanjutnya, melemahkan ikatan sosial dan cenderung menyingkirkan
yang lain. Sikap menyalahkan individu membuat struktur- struktur yang tidak
adil menjadi tidak tampak dan mendorong permusuhan,ketakutan dan kecurigaan
terhadap mereka yang menyimpang dari norma dan mereka yang menjadi pesaing. Dominasi
kompetisi dan dukungan sosial yang melemah yang menyertainya terjadi di banyak
tingkat. Bukan hanya kompetisi
antarindividu menjadi lebih nyata, tetapi kebijakan pemerintah, seperti
outsourching dan lelang pekerjaan yang kompetitif.
5. Keberatan Mendasar.
Krisis dalam negara kesejahteraan adalah hasil dari sistem sosial,
ekonomi dan politik yang tidak berkelanjutan, dan yang telah mencapai suatu
titik krisis ekologis. Setiap tanggapan konvensional atas krisis dalam negara
kesejahteraan adalah suatu yang dalam dirinya sendiri didasarkan atas
asumsi-asumsi yang berorientasi pada pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, dan
oleh karena itu dirinya sendiri tidak berkelanjutan.
Keberatan
terhadap tanggapan- tanggapan sosial politik tradisional atas krisis dalam
negara kesejahteraan adalah yang bertujuan untuk mengembangkan suatu pendekatan
alternatif kepada praktik dan kebijakan layanan kemanusiaan yang lebih
konsisten dengan masyarakat berkelanjutan yang sejati. Maka dari itu pada
tempatnya untuk mempertimbangkan kebenaran ini secara lebih rinci. Negara
kesejahteraan telah tumbuh secara berdampingan dengan kapitalisme industri, dan
harus dilihat sebagai bagian integral dari orde sosial, ekonomi dan politik
yang ada. Jadi kapitalisme indutri modern tidak mungkin akan suatu bentuk
negara kesejahteraan yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia, untuk
memelihara kestabilan dan keamanan dan
untuk membuat para pekerja tetap sehat, bahagian dan cukup terdidik sehingga
proses-proses pekerja tetap produksi dan reproduksi dapat dipertahankan.
Analisis
tersebut memberikan arti bahwa negara kesejahteraan harus dilihat dalam
konteks, dan tidak terpisah dari kapitalisme industri lanjut. Kapitalisme
industri dalam bentuknya sekarang tidak dapat tetap hidup tanpa suatu bentuk
negara kesejahteraan, maka yang sewajarnya adalah bahwa negara kesejahteraan
dalam bentuknya sekarang tidak dapat tetap hidup tanpa orde ekonomi kapitalisme
industri di mana negara kesejahteraan itu berkembang. Dari perspektif ini,
krisis dalam negara kesejahteraan tidak dapat secara memuaskan diselesaikan
dengan menggunakan salah satu dari empat strategi yang diuraikan yaitu sistem
sosial, ekonomi dan politik yang berorientasi pertumbuhan yang ada sekarang di
dalam negara kesejahteraan berada, jelas tidak berkelanjutan dalam segala hal
kecuali dalam rentang waktu yang sangat pendek. Dengan berubahnya struktur
masyarakat sebagaimana dari perspektif ekologis mereka harus berubah, berbagai
struktur dan layanan yang berbeda untuk secara lebih adil memenuhi kebutuhan
manusia haruslah dikembangkan. Negara kesejahteraan bukanlah suatu perlengkapan
tetap yang permanen, dan juga bukan suatu komponen alamiah dari peradaba
manusia.
B. Layanan Berbasis Masyarakat Sebagai Suatu
Alternativ.
Terjadi
peningkatan minat pada program – program berbasis masyarakat sebagai sebuah
modal alternative untuk menyampaikan layanan – layanan kemanusiaan untuk
pemenuhan kebutuhan – kebutuhan manusia secara adil (Shragge, 1990 ; ife, 1993
;Ewalt, Freeman dan Poole, 1998 ; Frellin, 2001). Sesudah keluarga, gereja,
pasar dan Negara sekarang mungkin giliran ‘komunitas’ yang memikul tanggung
jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan – layanan dala bidang seperti
kesehatan,pendidikan, perumahan dan kesejahteraan. Pada pandangan pertama
tampak bahwa suatu pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan – layanan
kemanusiaan adalah konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara paska
kesejahteraan’ yang didasarkan pada prinsip – prinsip keberlanjutan.
1. Berbagai Masalah Pendekatan Konvensional Pada
‘Layanan Berbasis Masyarakat’.
a. Mengurangi
komitmen kepada kesejahteraan.
Pemerintah
bermaksut memotong biaya, sering kali lebih mudah mengurangi pendanaan untuk
program – program berbasis masyarakat daripada pendanaan untuk layanan untuk
layanan setara yang dilakukan oleh Negara. Hal ini karena keputusan yang sulit
untuk mengurangi layanan yang dibuat pada tingkat masyarakat, biasanya oleh
sebuah panitia pengelolaan local. Sehingga pengurngan itu tidak mudah terlihat
sebagai kesalahan pemerintah, walaupun itu merupakan akibat langsung dari
pengurangan dana pemerintah.
b. Privatisasi
tersembunyi.
Hal
ini dapat mengakibatkan sebuah proyek berbasis masyarakat menjadi dioperasikan
oleh suatu filosofi yang digerakkan oleh pasar dengan tujuan maksimalisasi
keuntungan – bukan memenuhi kebutuhan manusia.
c. Keluarga.
Kecenderungan
tersebut terutama terlihat dalam bidang ‘perawatan oleh masyarakat’ bagi mereka
yang tidak sanggup mandiri. Hal ini sering kali tidak berarti bahwa sebentuk
masyarakat otonomus local akan menerima tanggung jawab untuk perawatan
seseorang (sebagaimana akan terjadi pada sistem berbasis masyarakat yang
sejati) tetapi bahwa orang yang bersangkutan akan dirawat ‘dalam masyarakat’
oleh para anggota keluarganya, biasanya perempuan.
d. Gender.
Suatu
perubahan kepada layanan berbasis masyarakat dapat membebani perempuan secara
tidak proporsional, baik karena peran tradisional mereka sebagai pemelihara
primer dan karena lebih tingginya tingkat partisipasi mereka, disbanding dengan
lawan jenisnya, dalam sector masyarakat.
e. Tirani
lokalitas.
Suatu
pendekatan berbasis masyarakat dapat dilihat sebagai pembatasan orang pada
komunitas mereka ketika mereka mungkin lebih senang mencari layanan ditempat
lain, baik karena keyakinan bahwa layanan yang lebih baik tersedia dilokasi
lainatau karena suatu harapan untuk hadir secara anonim dan suatu keinginan
untuk menghindari gosip dan tetangga yang ikut campur.
f. Ketidaksetaraan
lokasional.
Karena
beberapa masyarakat mempunyai sumber daya lebih baik daripada yang lainnya,
suatu perpindahan kepada pendekatan berbasis masyarakat dapat benar – benar
memperkokoh ketidaksetaraan yang ada antar masyarakat, sering kali berdasar
atas kelas. Masyarakat dengan sumber daya yang lebih baik akan mampu
menyediakan tingkat – tingkat layanan yang lebih tinggi, dan masyarakat yang
tersingkir dapat menjadi semakin tersingkir oleh penolakan dukungan dari suatu
pemerintahan pusat yang kuat.
C. Unsur Yang Hilang: Pengembangan Masyarakat.
Terdapat
sebuah entitas yang disebut ‘komunitas’ yang menjadi dasar dari layanan
kemanusiaan yang dibangun diatasnya, asumsi ini bersifat problematis karena
dalam masyarakat barat kontemporer terjadi kebangkitan individualisme dan tidak
ada struktur komunitas yang kuat.
1. Janji komunitas.
Walaupun
banyak persoalan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat, dan banyak
factor dalam masyarakat industry modern yang menentangnya, gagasan komunitas
tetap memiliki kekuatan. Ia juga telah berperan sebagai sebuah visi yang kuat
bagi masyarakat untuk bertindak dan membangun kembali masyarakat yang kuat.
2. Modal sosial dan masyarakat madani.
Gagasan
modal sosial adalah bahwa seseorang dapat melakukan investasi secara sosial
sebagaimana secara ekonomis, dan bahwa modal ekonomis dari suatu masyarakat
dapat bertambah, jika ini terjadi atas biaya modal sosial maka perolehan
tersebut adalah semu.
Bagian
dari membangun modal sosial adalah memperkuat ‘masyarakat madani’, masyarakat
madani adalah istilah yang digunakan untuk struktur – struktur formal atau
semiformal yang dibentuk masyarakat secara sukarela, dengan inisiatif mereka
sendiri, bukan sebagai konskuensi dari program atau arahan tertentu dari
pemerintah.
3. Kebutuhan Akan Orang Asing.
Dengan
adanya transformasi dari Gemeinschaft ke Gesellschaft layanan
kemanusiaan, seperti interaksi sosial lainnya telah menjadi dasar atas hubungan
– hubungan instrumental, dimana pemberi layanan dan pengguna layanan saling
mengenal hanya sebatas peran tertentu saja. Akhir-akhir ini, layanan kemanusian
telah dengan semangat menganut menejemen kasus sebagai sesuatu bentuk pemberian
layanan. Hal ini merupakan contoh peran-peran instrumental dari pemberian dan
pengguna layanan dan mewakili hubungan-hubungan instrumental yang paling
mencolok dan dramatis yang pernah di
saksikan.
Bahkan
namanya menghindarkan rasa hubungan kemanusian, layanan menjadi pengendali satu
kasus. Dari pendekatan yang tadinya memenuhi kebutuhan tetangga, kita telah
beralih kesuatu sistem yang didasarkan
atas memenuhi kebutuhan orang asing, sebagai mana diuraikan oleh sejumlah penulis
Titmuss 1970; Wilensky dan Lebeaux, 1965, Watson 1980, Ignatieff, 1984. Ini
adalah perubahan yang mendasar dan membutuhkan suatu justifikasi moral yang
berbeda, prinsip etis yang lain, dan diatas segalanya.
Ideal
dari nagara kesejahteraan yang sosial demokratis adalah menerima superioritas
dari model kebutuhan orang asing untuk beberapa alasan :
1) Standar
minimum yang cukup.
Tujuan
dari mencapai standar – standar minimum yang cukup (dalam kesehatan, perumahan,
pendidikan, keamanan pendapatan dsb) terletak pada dua asumsi : yaitu bahwa
pencapaian standar minimum yang cukup dan seragam adalah mungkin, dan bahwa hal
itu diinginkan. Kedua asumsi ini dapat dipermasalahkan.
2) Keadilan
sosial.
Devinisi
keadilan sosial adalah sebuah pertanyaan sulit, akan tetapi apapun devinisinya
tidaklah mudah membuat alasan yang kuat untuk melanjutkan pendekatan kebutuhan
orang asing didasarkan atas keadilan sosial. Dikemukakan oleh Le Grand (1982)
adalah suatu kesalahan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang lebih adil,
diperlukan lebih banyak lagi perubahan structural, dan Negara kesejahteraan benar
– benar hanya dapat memperbaiki akibat – akibat terburuk dari ketidakadilan
struktural.
3) Imparsialitas.
Konsep
ideal dari imparsialitas belum dapat dicapai oleh Negara kesejahteraan modern,
dan parsialitas yang tak terhindarkan telah mengakibatkan pembedaan tingkat
akses kepada layanan dan beragam kualitas layanan, perbedaan – perbedaan ini
telah cenderung memperkuat ketidaksetaraan dalam kelas, ras, dan gender.
4) Kerahasiaan.
Sebagaimana
jaringan komunikasi yang besar ini, ada kecenderungan bagi para pekerja untuk
bergosip, dan terjadi juga tak terhindarkan pelanggaran keamanan, kesalahan
penempatan dokumen. Jadi asumsi kerahasiaan tidak dapat dibuat pada urusan –
urusan seseorang dengan Negara kesejahteraan, dan memberi tahu kebutuhan dan
masalah – masalah seseorang.
5) Anonimitas.
Layanan
– layanan yang menjamin anonimitas hanya cenderung untuk menjadi depersonalisasi,
dan suatu preferensi untuk anonimitas hanya masuk akal dalam sebuah masyarakat
yang berbagai masalahnya dilihat sebagai urusan pribadi, dan yang interaksi
sosialnya melewati hubungan – hubungan instrumental yang terkotak-kotak di
lihat sebagai penyimpangan atau berbahaya. Anonimitas dalam Negara
kesejahteraan bukan sebuah alasan untuk mempertahankan model kebutuhan – kebutuhan
orang asing, tetapi dianggap sebagai sebuah alasan kuat untuk mencari
alternatif yang lebih berbasis-masyarakat
6. Akuntabilitas
Iklim
rasionalisme ekonomi dan manajerialisme yang ada sekarang hanya mayoriti satu
arah dari akuntabiritas_yaitu,akuntabilitas ‘ke atas’ kepada menejemen. Yang lebih penting lagi, perspektif ini
adalah akuntabilitas ‘kebawah’ kepada penguna layanan atau ‘ke luar’
kemasyarakat.negara kesejahteraan mungkin cukup efektif dalam memastikan
akuntabilitas kebawah dan keluar; faktanya strukturnya sendiri
menghalangi-halangi hal ini.
Related Posts :
- Back to Home »
- KRISIS LAYANAN KEMANUSIAAN, KEBANGKITAN INDIVIDUALISME, DAN KEBUTUHAN AKAN KOMUNITAS