Posted by : Unknown
Sabtu, 18 Mei 2013
DASAR-DASAR FILSAFAT
1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika
dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada
sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa
berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang
biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis
yang mempertanyakan segala hal.
Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara
terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam
ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang
menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat
persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah antropologi.[3]
Barangkali
karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga
relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah
memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak
diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya
secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta
ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya,
sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan
tetapi – khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal
maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Mengapa Manusia Berfilsafat
Apabila
seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah
berfilsafat, karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu
merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang
sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan serius.
Pertanyaan kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan setelah
mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka jawaban itu akan
dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam
(hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara
mendalam atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan demikian
pertanyaan filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan
seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset (penelitian).
Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”.
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan, karena yang
dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi
perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
ü Pancaindera
jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya
sekedar menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
ü Sains juga tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
ü Tetapi
filsafat mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan.
Seperti jawaban dari Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air,
dengan alasan bahwa air itu dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika
air dimasukkan ke dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember,
dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini
menurutnya terapung di atas air.
Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi oleh keta’juban (keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar (2001 : 16) menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek.
Jika ada ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan
(obyek). Subyek ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satu-satunya
makhluk yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban
hanya dapat dirasakan dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan
berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada,
baik di alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)
Selain ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian,
keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul
akibat aporia ini menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia
ini berada di antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap
percaya atau mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja
atas hal itu, akan tetapi jika dia berada antara percaya dan tidak
percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan untuk mencari
kepastian. Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan, pertanyaan
membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja akan melahirkan filsafat.
Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian terhadap sesuatu dapat
melahirkan filsafat.
Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan.
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam
kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap
manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama
semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa
ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat
dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi
(perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama
(Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak
filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa
bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis
atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme)
mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau
atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek
tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi.
3. Obyek Kajian Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan,
baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon,
batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide,
paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia
menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal
adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya
pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Filsafat,
sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga
memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah
segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak
nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material
filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang
ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[4] Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua,
ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh
sains, seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak
empiris). Jadi obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek
material sains.[5]
Adapun
obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni
keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan
penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain
bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh,
radikal dan obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui
hakikat yang sesungguhnya.
4. Metode Kajian Filsafat
Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos
(jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode
berarti cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami
suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang
ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan
bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga merupakan
alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak
dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah
yang dapat dipertanggung jawabkan.[6]
Metode
kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah
ragam filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai
metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga
sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap
metode dalam filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti emperisme, rasionalisme, relativisme, idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu 1) metode kritis : Socrates dan Plato, 2) metode intuisi : Platinos dan Bergson, 3) metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas dan filsafar abad pertengahan, 4) metode matematis : Descartes, 5) metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume, 6) metode transendental : Imanuel Kant, Neo-Skolastik, 7) metode dialektis : Hegel dan Karl Marx, 8) metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan 10) metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).
Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut
1.1. Metode Dialektika (Kritis)
Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai
= bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis
ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis
terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog
kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu
kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api,
lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang
membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu
terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep
atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran
adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran
yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut
pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”.
Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang
Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran
yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika,
baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah
kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya
adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang
tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara
dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu
pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[7],
yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains
maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang
yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong
para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis
datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau
pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu
yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah
terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme
ini.
Dalam
kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang
Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM.
Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar
pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan
dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di
dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu
dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus
diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu
yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan
(dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete
(keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain
sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang
ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang
disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang
tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
Sebagai
contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya
terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita
menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran,
kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan
kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan
terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang
memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat
dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan
tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu
bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri
lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang
akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran.
Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi
dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan
kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat
dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi
kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja,
misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan
sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian
pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan
ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini
diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus
muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum
(definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif
sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran
obyektif itu sudah ada di alam ide.
1.2. Metode Intuisi
Metode
intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda
dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode
ini plotinus melahirkan teori emanasi,[8]
yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah
teori yang cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan
takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup
tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu
pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus
adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara :
pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat
mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa
illahi.
Jawaban
Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang
katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan
manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada
kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang
lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam
semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam
pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang
banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu
yang bisa keluar dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.
The
One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang
tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia
berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila
seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One
atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya
yang tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa
memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat
mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang
akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak
dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui
intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus
juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan
penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini
ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia.
Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali
menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke
dalam kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau
tumbuhan, sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.
5. Karasteristik atau Sifat Dasar Filsafat
5.1. Berfikir Radikal
Berfilsafat
berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir
radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena
suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir
mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar
seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu
dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut
membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal
akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu
sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh
sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 :
6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi
bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat
untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal,
sistematis dan universal.
5.2. Mencari asas
Dalam
memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas
(dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para
filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati
keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di
balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar
?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales
menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa
asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang
membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.
5.3. Memburu Kebenaran
Berfilsafat
berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu
kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak
meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki
dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah
diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah
ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain
demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.
CABANG ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT
Pada
tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu
pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin
rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah
pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga
semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun
kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu
miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok,
dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan
lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi
filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus
dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang
studi atau beberapa cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)
Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis,
yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di
dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan
utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis,
yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku
manusia yang baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah
etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah
membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk
bertindak dalam terang pengetahuan itu
3) Filsafat Produktif,
yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia
menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya
adalah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang
hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup
menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam
terang pengetahuan yang benar.
Sementara Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika,
yakni studi tentang metode berfikir dan metode penelitian ideal, yang
terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dn induksi, hipotesis dan
eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang bentuk ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4) Politika, yaitu
studi tentang organisasi sosial yang ideal, yakni tentang monarki,
aristokrasi, demokrasi sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.
Para penulis ENSIE (Earste Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie)
membagi filsafat kepada sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika,
epistemologi, filsafat ilmu, filsafat naturalis, filsafat kultural,
filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat manusia. Sedangkan The World University Ensyclopedia
membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika, epistemologi,
logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754)
membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi,
psikologi, teologi naturalis dan etika.
Masih
banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, namun
pada umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat tentang berbagai disiplin ilmu.
1. Epistemologi
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori
pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos
= kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi berarti
teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa
Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge”
(teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang
mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana
memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi
itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke
arah tercapainya pengetahuan yang benar[9].
Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah
usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip
kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci
disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan,
struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan mengenai
apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif
merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.
Secara
tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber,
asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan
pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap
pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan
untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi
adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar
pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman
atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau
hanya merupakan dugaan?
1.1. Tentang Pengetahaun
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan
tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang
digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang.
Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek,
yakni sesuatu yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat
dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu
eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya.
Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu
obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang
amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya
mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya
tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk
mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai
seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge).
Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah
adalah hasil penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan
intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan inderawi dan
pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk
diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode
ilmiah. 2) pengetahuan ilmiah (scientific knowledge),
pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang
lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang
sering disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge),
yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman,
penafsiran, spekulasi, penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang
logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan filsafat ini berkaitan
dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh realitas yang dipersoalkan
selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
1.2. Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari
seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering
dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan makna,
bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti
tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka
perbedaannya akan nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu berasal dari bahasa Arab ilm (عـلـم) atau kata Inggis science.
Makna semacam ini nampak lebih baik daripada mencampuradukkan dua kata
tersebut. Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh
pengertian dan perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun
dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek
tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya
dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal.
Dapat pula obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang
bersangkutan dengan masalah kejiwaan yang cara memahaminya dengan
komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi yang dipahami lewat
persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value), pemahamannya lewat
persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih dari seratus
definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut
proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan,
(c) pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi
mental dan (d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[10]
Pengertian
ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk
aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu
pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat
tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu
kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah
lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles
Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun
S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.
Perbedaan
antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan
ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai
berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris,
maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”.
Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan
pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman
disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu.
Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada
binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak
tangan tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu
apa yang dimaksud tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi
kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu
untuk mencari keterangan lebih lanjut”.
Jadi
pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak
pada sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut
menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan
pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan
artinya dengan ilmu, karena kata ilmu yang berasal dari bahasa Arab
berarti pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah
: “ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”.
Dengan demikian bahwa secara bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin
arti, sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan.
Sementara itu menurut disiplinya, ilmu pengetahuan dapat digolongakan
menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain) [11]
1.3. Sumber Pengetahuan
Proses
terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi,
sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang
sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam
sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori.
Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau
melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin.
Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena
adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat,
seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith). [12]
Apakah
sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan ?. Dalam hal ini para filsuf
memberi jawaban yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza dan
Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (ratio),
bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah
satu-satunya sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal
budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang
bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pikiran
memiliki fungsi sangat penting dalam proses mengetahui.
Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan
subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya
gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan
dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga
sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan
pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil
kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada
ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza.
Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang
tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena
pengalaman. Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala
ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah
yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan
dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa lampau. Pengalaman inderawi terjadi
karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan adanya suatu gerak di
dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak
dilanjutkan ke jantung. Di dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu
gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi
pada awal gerak reaksi tadi.
Beberapa
filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan
bahwa sumber pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi
atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka, pengetahuan bergantung pada
pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada
rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia
sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di
dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi sesungguhnya aposteriori.
John
Locke, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara
langsung dari sensasi dan lewat refleksi terhdap ide-ide sensitif itu
sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal budi manusia yang tidak
berasal dari pengalaman inderawi. Dengan kata lain bahwa segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (ratio)
menurutnya bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan
secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang
datang dari pengalaman. Dia tidak membedakan antara pengetahuan inderawi
dan pengetahuan akali, satu-satunya sasaran obyek pengetahuan adalah
gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan bathiniyah (reflection).
1.4. Adakah Pengetahuan yang Benar dan Pasti
Louis
O. Kattsoff dalam teori korespondensinya menyatakan bentuk kebenaran
sebagai berikut “bahwa sutu pendapat itu benar jika arti yang
dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan teori
koresponden. Kebenaran atau keadaan dasar itu berupa kesesuaian
(koresponden) antara arti yang dimaksudkan oleh suatu pendapat dengan
apa yang sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya”.
Teori kebenaran yang lain dikemukakan oleh Harold H. Titus sebagaimana
dikutip oleh H. Endang Saifuddin Anshari sebagai berikut : “Kebenaran
adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan
situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar yang diberikan interpretasi”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam pengetahaun adalah
kesesuaian antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahuinya.
Contoh : Amir dibangunkan oleh Ali sambil berteriak bahwa ada
kebakaran, Amir pun segera bangun dan percaya bahwa ada kebakaran. Ini
dikatakan benar jika betul terjadi kebakaran, tapi dikatakan salah jika
(kenyataannya) tidak terjadi kebakaran (Miska Muhammad Amien, 1983 :
7-8)
Para
penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu,
termasuk yang sudah pasti, dapat saja disangsikan kebenarannya. Untuk
membenarkan diri, secara ekstrim mereka berpegang pada ungkapan Socrates
yang mengatakan “apa yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”.
Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada
pengetahuan yang pasti dan mutlak. Pyrrho (365-275 SM), yang dikenal
sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama, mengatakan bahwa kita
harus senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang dianggap benar karena
sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti.
Ada banyak pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak
pernah dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana salah karena tidak
ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu (Jan Hendrik Rapar, 1996 :
40-42).
John
Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvill (1626-1680) membedakan antara
pengetahuan tertentu yang sempurna dan pengetahuan tertentu yang sudah
pasti. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun manusia dapat meraih
pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan
rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari
terbit dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah dan
sebagainya merupakan pengetahuan yang pasti dan tidak perlu diragukan
lagi.
David
Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris. Menurutnya
tidak ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara
rasional. Demikian pula proposisi mengenai pengalaman tidak perlu,
karena seseorang dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia di
mana proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok
pagi” adalah sebuah generalisasi dari pengalaman atau realitas. Akan
tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan
suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya tidak terbit besok
pagi. Baginya generalisasi induktif sama sekali bukan suatu proses
berfikir, tetapi sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan berulang
kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.
Pandangan
para filsuf yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang sudah
dianggap pasti kebenaranya, sejak semula telah disanggah oleh pemikir
lainnya. Misalnya Augustinus (354-430) mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat mengetahui apa-apa”
menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya sudah merupakan pengetahuan. Oleh
sebab itu, bagi Augustinus, pendapat filsuf yang demikian, secara
rasional tidak konsisten, ungkapan tersebut adalah keliru dan salah,
berarti tidak ada masalah. Jika memang benar, berarti ungkapan itu
mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga
kita telah mengetahui dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.
Sedangkan
Thomas Reid (1710-1796) menyanggah presuposisi sentral David Hume yang
mengatakan bahwa kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah
dibenarkan oleh argument-argument rasional-filsafat. Thomas Reid
mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafat yang dikehendaki Hume itu
sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Menurutnya kepercayaan yang
sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra anggapan yang membuta
begitu saja, melainkan justru mencerminkan konstitusi rasional kita yang
sanggup pula mengenal lewat intuisi.
2. Metafisika
Istilah metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta dan physika.
Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya dan physika berarti nyata
atau alam. Jadi metafisika dapat diartikan dibalik alam semesta atau
selain yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh,
metafika adalah ilmu yang memikirkan atau membahas hakikat sesuatu di
balik alam nyata. Metafisika biasanya dibagi kepada : metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi metafisik dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)
2.1. Metafisika Umum atau Ontologi
Metafisika
umum atau ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara
menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan
memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakkan atau
penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama
dan sering diajukan adalah “apakah realitas atau ada yang begitu
beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada hakikatnya satu atau tidak ?”,
kalau memang satu, “apakah gerangan yang satu itu ?” dan “apakah
eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan
realitas yang nampak atau tidak ?”. Dalam hal ini ada tiga teori ontologi yang terkenal, yaitu :
a). Idealisme.
Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya
berada di dunia ide. Segala sesuatu yang nampak dan mewujud dalam alam
inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya
yang berada di alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas yang
sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh
idealisme subyektif, George Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa
satu-satunya realitas yang sesungguhnya adalah aku subyektif yang
spritual. Baginya tidak ada substansi material dan sebagainya, seperti
kursi dan meja, karena semua itu hanya merupakan koleksi ide yang ada
dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. G. Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk
dari satu pikiran.
b). Materialisme.
Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu
yang bersifat material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah
kebendaan. Karena itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara
materialistis. Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa seluruh
realitas bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan
unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau disebut atom
(tidak dapat dibagi). Atom itu merupakan bagian materi sangat kecil
yang tidak berkualitas dan senantiasa bergerak karena adanya ruang
kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom. Sementara Thomas Hobbes
(1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak
bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah gerak yang
terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari
materi itu senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas
Feuerbach (1804-1872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik
pangkal dari segala sesuatu. Baginya, alam materi adalah realitas yang
sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah bagian dari alam material
itu, maka manusia adalah satu realitas yang konkret. Agama dan Tuhan,
lanjut dia, hanyalah impian manusia yang begitu egoistis demi meraih
kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c). Dualime. Ini
mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe
fundamental yang berbeda dan tak dapat direksusikan kepada yang lainnya,
yaitu material dan mental.
Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi
(yang ada secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan secara
fisik). Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme
dan pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan
mempersoalkan tipe fundamental dan substansi itu. Memang ada filsafat
pluralistis yang bersifat dualisme, misalnya Cartesianisme, tetapi ada
pula yang tidak.
Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum.
Ontologi dapat dipahami sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu
sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau metafisika umum ini
mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta isinya.
Cakupan
ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan
masyarakat, ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan
ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki
manusia, alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas
sasaran yang dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik
(hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu
pengetahuan hanya menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik
menurut bagian-bagian tertentu secara terpisah.
Tokoh
yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi berarti “ilmu pengetahua atau ajran”. Dengan demikian ontologi
adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi
ini terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme (materialisme) yang memandang bahwa sumber yang asal itu hanya tunggal, 3) idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme
yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti
yang dikehendaki oleh ilmu metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)
2.2. Metafisika Khusus
2.2.1 Kosmologi
Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia, alam atau ketertiban (lawan dari chaos
= kacau balau) dan logos berarti kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti
pembicaraan atau ilmu tentang alam semesta dan ketertiban yang paling
fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi memandang alam semesta
sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan
spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang
koheran. Hal-hal yang biasa disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai
ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan
keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah
yang membedakannya dari berbagai kisah asal mula struktur alam.
2.2.2 Teologi Metafisik
Teologi
metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas
dari keprcayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional.
Konsekwensinya, Tuhan menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan
dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari
kepercayaan agama, maka hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh
bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan sebagai berikut : (a). Tuhan
tidak ada. (b). Tidak dapat dipastikan apakah Tuhan ada atau tidak. (c).
Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional. (d). Tuhan ada,
dengan bukti rasional
Para
filsuf terkenal seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas dan
Immanuel Kant telah mebuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada.
Bukti-bukti rasional yang diutarakan adalah :
· Argumen Ontologis. Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian, Tuhan pasti ada dan realitas adaNya pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
· Argumen Kosmologi.
Setiap akibat pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu
pasti memiliki sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia
itulah Tuhan.
· Argumen Teleologis.
Segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat,
telinga untuk mendengar dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu
memiliki tujuan, itu berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur
tujuan itu adalah Tuhan.
· Argumen Moral.
Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar
dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.
Skeptisisme
secara umum meragukan segala keyakinan yang telah digenggam selama ini.
Menurut aliran ini sesungguhnya tak dapat dipastikan apakah Tuhan itu
benar-benar ada atau tidak mungkin saja ada tapi mungkin juga tidak ada.
Skepteisisme merupakan pintu yang terbuka lebar ke arah ateisme (dalam
arti teoritis), yaitu suatu paham yang berupaya mempertanggungjawabkan
secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena itu, David Hume
menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar shahih tentang adanya
Tuhan dan bahwa Dia menyelenggarakan dunia ini. Hume menolak eksistensi
Tuhan dan kebenaran agama, bahkan menolak gagasan tentang Tuhan serta
menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya perasaan manusia belaka.
Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk
mengendalikan atau mengawasinya.
Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki tiga fungsi utama bagi kehidupan praktis manusia di dunia, yaitu :
· Tuhan
dianggap penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia
akan dapat mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
· Keyakinan agama memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama setelah kematian
· Tuhan memelihara dan menjaga agar ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan.
Kehidupan
moral merupakan tempat bagi Tuhan untuk berperan. Segala perbuatan yang
baik akan memperoleh ganjaran dan segala perbuatan yang jahat akan
dihukum. Hukuman itu akan berlangsung nanti setelah kematian, karena di
sanalah segala ganti rugi terhadap kesusahan dan penderitaan akan
diperoleh dan kejahatan akan dibalas setimpal dengan perbuatn manusia.
Freud kemudian menyimpulkan bahwa religi adalah suatu ilusi yang berasal
dari semacam infantilisme atau sifat kekanak-kanakan. Dengan demikian,
bagi Freud, Tuhan hanyalah ilusi.
2.2.3 Filsafat Antropologi
Filsafat
antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah
manusia itu?, apakah hakikat manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam
dan sesamanya?. Maka filsafat antropologi bupaya menemukan jawaban atas
pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi,
eksistensi, status maupun relasi-relasinya. Sebenarnya sejak zaman purba
manusia dipersoalkan secara falsafati (selengkapnya baca pada
pembahasan masalah manusia).
3. Logika
Logika adalah istilah yang dibentuk dari bahasa Yunani logikos yang berasal dari kata benda logos, artinya sessuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal pikiran, kata, percakapan dan bahasa.
atau yang yang berkenaan dengan bahasa. Jadi secara etimologi logika
berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Dengan demikian bahwa logika adalah ilmu
pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus (tepat). Dari definis
yang diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa logika adalah
cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas,
aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif serta kriteria yang
sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional
Logika
merupakan suatu percobaan untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan :
“apakah yang dimaksud dengan pendapat yang benar ?, apakah yang
membedakan antara argumentasi yang benar denga yang keliru ? atau apakah
yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan pendapat ? Memperhatikan
pertanyaan-pertanyaan tersbut, Popkin dan Stroll berkesimpulan bahwa
logika merupakan salah satu cabang filsafat yang tergolong penting
sekali. Semua bagian atau cabang filsafat tidak dapat lepas pada
penggunaan pikiran atau cara berfikir, apakah pikiran itu benar atau
keliru akan tergantung pada penyesuaiannya dengan asa-asas logika. Di
situlah letak logika di perlukan sebagai dasar penggunaan pikiran.[13]
Logika itu terbagi kepada beberapa macam, antara lain logika naturalis, logika ilmiah, logika artificialis atau tradisional serta logika formal dan logika material.
Logika naturalis (alamiah) adalah bahwa manusia berfikir menurut kudrat
atau fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu sama usianya dengan umur
manusia, akrena sejak kelahirannya dia sudah dilengkapi oelh Tuhan
dengan akal / ratio, yang berarti sejak itu logika telah ada dalam
bentuknya yang sederhana, alamiah dan belum dikembangakan secara ilmiah.
Misalnya, manusia dapat berpikir secar praktis bahwa si A tidak sama
dengan si B, makan tidak sama dengan tidur dan lain sebagainya. Jadi
kecakapan berfikir logis manusia adalah anugrah dari Tuhan yang tidak
dimiliki oleh makhluk seperti hewan.
Sedangkan
logika ilmiah (scientific) adalah kelanjutan dari logika alamiah
(natural), yaitu apabila manusia diberikan bimbingan secara sistematis
untuk dapat menguasai pola-pola pikir secara teratur sesuai dengan
hukum-hukum ketetapan atau kebenaran berfikir. Adapun logika
artificialis yang disebut juga logika tradisional (logika Aristoteles),
yang kelahirannya sebagai logika tradisi kuno sejak Aristoteles berhasil
membukukannya dalam ‘Organon’ sebagai buku logika pertama. Menurut
tradisi, Aristoteleslah yang berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah
berfikir benar secara sistematis. Menurutnya, logika adalah sebagai
organon (alat dan instrumen) untuk berpikir benar dan menemukan
kebenaran. Setelah pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat
manusia, maka logia artifisialis ini dikembangkan secara ilmiah menjadi
dua bagian, yaitu logika formal dan logika material.
Logika formal (logic)
atau logika minor, mempelajari asas-asas, kaidah, aturan atau hukum
berfikir yang harus ditaati, agar manusia dapat berfikir dengan tepat
dan benar serta mencapai kebenaran. Jadi bagaimana seharusnya manusia
berfikir dengan baik sesuai aturan tersebut. Sedangkan logika material
atau kritik (mayor), mempersoalkan isi atau materi pengetahuan dan
bagaimana caranya mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan
demikain logika ini mempelajari tentang : sumber dan asal pengetahuan,
alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan,
kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas penjelasan pengetahuan, metode
ilmiah pengetahaun dan kebenaran serta kekeliruan dan sebagainya. Logika
material inilah sebagai wadah timbulnya filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapleer).[14]
4. Etika
Etika
(dalam Islam dikenal akhlaq) adalah ilmu yang membahas perbuatan baik
dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran
manusia. Etika berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, ethos dan ethikos.
Ethos berarti sifat, watak dan kebiasaan, sedangkan ethikos berarti
susila, keadaban atau perbuatan dan kelakuan yang baik. Adapun istilah
moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores merupakan bentuk jamak dari mos,
yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat dan
cara hidup. Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang
sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang
dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif,
sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan
norma tentang baik dan buruk.
Etika
merupakan cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates
(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah
laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban
manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siap manusia itu, tetapi
bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak.
4.1. Etika Deskriptif
Etika
deskriptif menguraikan dan menujelaskan kesadaran dan pengamalan moral
secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa
ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah,
seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual lainnya,
misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan
ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan
sosiologi. Dalam hubungan dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya
menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral
dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif dapat dibagi dua, yaitu pertama sejarah moral
yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang
pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu
tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa
bangsa, kedua fenomenologi moral,
yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena
moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan
petunjuk-petunjuk atau patokan moral yang perlu dipegang oleh manusia.
Karena itu fenomenologi moral tidak mempermasalahkan apa yang benar dan
apa yang salah.
4.2. Etika Normatif
Etika
normatif disebut juga filsafat moral atau etika filsafat. Etika
normatif dapat dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori
keharusan. Teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori
keharusan membahas tingkah laku. Ada pula yang membaginya kepada dua
golonang atau paham : konsekuensealis (teleologikal) dan nonkonsekuensealis (deantologikal).
Konsekuensealis (teleologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh konsekuensinya, sedang nonkonsekuensialis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditegntukan oleh sebab-sebab
yang menjadi dorongan dari tindakan itu atau ditentukan oleh sifat-sifat
hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
Baik teleologikal maupun deontologikal dapat dimasukkan ke dalam teori keharusan. Salah satu aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleologikal adalah aliran egoisme.
Di antara versi egoisme mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian
benar salahnya suatu tindakan adalah dengan memperhatikan untung ruginya
tindakan itu bagi pelakunya sendiri. Egoisme menegaskan bahwa manusia
memiliki hak untuk berbuat apa saja dianggap menguntungkan dirinya.
Sedangkan dalam teori keharusan yang deontologikal, tampillah aliran formalisme.
Para pemikir formalis mengatakan bahwa akibat (konsekuensi) bukan hanya
tidak mampu, melainkan juga tidak relevan untuk menilai suatu tindakan
atau perbuatan. Bagi mereka, yang paling penting dan menentukan adalah motivasi. Motivasi yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan itu benar kendati akibat dari perbuatan itu ternyata buruk.
4.3. Metaetika
Metaetika
merupakan suatu studi analisis terhadap disiplin etika. Metaetika baru
muncul pada abad 20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti
serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat
pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu
tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus
antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar dan salah, yang terpuji
dan yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan sebagainya. Ada
beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang terkenal, yaitu :
· Teori naturalistis,
yang mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai
hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah normatif etis,
seperti baik dan benar dapat disamakan dengan istilah deskriptif, yang
dikehendaki Tuhan, yang diidamkan atau yang biasa. Teori naturalistis
juga berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan
lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah.
· Teori kognitivis,
mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar,
sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa
salah. Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral
dapat menjadi subyek pengetahuan atau kognisi. Teori ini dapat bersifat
naturalistis dan dapat juga bersifat non-naturalistis.
· Teori intuitif,
berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah
diperoleh secara intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi
batasan-batasan non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis.
Bagi teori ini pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu
jelas dengan sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui
secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau
benar tidaknya suatu tindakan.
· Teori subyektif,
menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya
dapat mengungkapkan fakta-fakta subyektif tentang sikap dan tingkah laku
manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat
mengungkapkan fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang
mengatakan bahwa sesuatu itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu
benar demikian. Sebaliknya apabila dia mengatakan sesuatu itu salah
berarti dia hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang
dikatakan salah itu
· Teori emotif,
menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan
sesuatu apapun yagn dapat disebut selah atau benar kendati hanya secara
subyektif. Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu
ungkapan emosi samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak
memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan
dan, dalam hal ini, sama saja seperti rintihan, seruan dan umpatan.
· Teori imperatif,
berpendapat bahwa pertimbanga-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah
ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan
demikian, tak satupun istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh
disebut salah atau benar. Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah
moral itu sesungguhnya hanya merupakan istilah samaran dari
keharusan-keharusan ataupun perintah-perintah. Jadi, apabila dikatakan
“kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah “jangan berbohong”
dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan benar”, yang dimaksudkan
adalah “lakukanlah kebaikan”.
· Teori skeptis,
yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral;
moralitas tidak memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya; yang
berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal itu hanyalah semata-mata soal
adat, kebiasaan atau selera; yang mengatakan bahwa norma-norma etis
tidak mutlak; yang menganggap bahwa norma-norma etis itu bersifat
relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu lingkungan budaya
tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
5. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan masalah seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, aisthesis
yang berarti penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga
berarti pengamatan spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi
filsafat yang mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh dan menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka
ragam itu, filsafat berfungsi sebagai pengikat ke arah keseragaman dan
kesatuan. Keanekaragaman ilmu pengetahuan yang berada secara
terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu terjadi seragam, tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh
menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran filsafat (Suparlan
Suhartono, 2004: 162).
Estetika dapat dibagi menjadi dua, yaitu estetika deskriptif yang menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan, dan estetika normatif yang mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kepada filsafat seni dan filsafat keindahan.
Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya seni dan
mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah
yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan
realitas. Sedangkan filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan
apakah nilai indah itu obyektif atau subyektif.
Menurut Plato seni atau art adalah keterampilan untuk mereproduksi sesuatu, baginya apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation).
Contoh, seseorang yang melukis panorama alam yang indah sesungguhnya
hanya meniru panorma alam yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni
hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing dan sebagainya dimana benda
semua itu juga merupakan tiruan dari bentuk ideal yang ada dalam alam
ide. Aristoteles sependapat dengan Plato tentang seni sebagai tiruan
dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh Aristoteles adalah
puisi. Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari tindakan dan
perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato
menganggap seni tidak begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni
itu penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia.
Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih filosofis daripada sejarah.
Pada
abad pertengahan, estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para
filsuf, karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni dengan
alasan hal itu bersifat duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani
dan Romawi. Namun Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar
terhadap seni, dengan mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen
yang mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan bahwa
bentuk-bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya
keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Tuhan,
oleh karenanya keindahan dalam seni dan alam haruslah memiliki pertalian
yang erat dengan agama. Kendatipun mengikuti pendapat Plato tentang
keindahan, namun dia membantah pendapatnya yang mengatakan bahwa seni
itu tiruan. Menurut Augustinus, hewan juga meniru tapi tidak dapat
menghsilkan karya seni.
Kemudian
David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif
yang terletak di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan berada di
dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu
lalu menyebutnya indah. Dia mengatakan bahwa apa yang dianggap indah
oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia, yang
dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Senada
dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa keindahan itu merupakan
penilaian estetis yang semata-mata subyektif. Menurutnya bahwa
pertimbangan estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk
menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia
menganggap bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam
pengalaman manusia pada umumnya.
Seorang
filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952) mengembangkan estetika
naturalistis. Sama dengan Hume dan Kant, dia menolak obyektivitas
keindahan. Menurut dia keindahan identik dengan kesenangan yang dialami
manusia ketika ia mangamati obyek-obyek tertentu. Filsuf Itali,
Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat alam
pikiran filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan
intuisi itu sendiri adalah gambar yang berada dalam alam pikiran. Dengan
demikian, seni berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam
bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu
untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam
pikiran seniman. Dia juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena
seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, maka seni
sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari
perasaan si seniman.
Sebagaimana
telah disinggung terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua
disiplin ilmu, artinya pada mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu
pengetahuan yang dikenal saat ini. Namun kemudian, secara
berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai melepaskan diri
dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri. Dalam
mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan
berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan
penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu
pengetahuan itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan
realitas maka ia kembali lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk
meminta jawaban.
Oleh
karena banyaknya pertanyaan atau persoalan yang diajukan kepada
berbagai ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensinya dan harus
meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah filsafat khusus yang
membahas tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus ini menerapkan
berbagai metode filosofis dalam
upaya mencari dan menemukan akan serta asas realitas yang dipersoalkan
oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.
Seperti
diketahui bersama bahwa saat ini terdapat begitu banyak ilmu
pengetahuan yang berkembang, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan
kepada tiga kelompok besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal),
ilmu-ilmu induktif (ilmu empiris) dan ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan
sebagainya). Pada hakikatnya persoalan-persoalan falsafati terdapat di
seluruh bidang ilmu dari ketiga kelompok tersebut. Dalam makalah ini
hanya akan dikemukakan beberapa saja.
1. Filsafat Politik
Filsafat
politik adalah refleksi filosofis mengenai masalah-masalah sosial
politik yagn dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang
berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan hakikat, kedua mempersoalkan
fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, filsafat politik
bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan
juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan
kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan
sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu
politik bersifat deskriptif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta,
sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan
nilai-nilai.
Plato dalam bukunya Republika
mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut. Menurut
Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan
keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya
merealisasikan negara ideal itu, oleh karenanya maka pendidikan harus
diatur oleh negara. Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam
filsafat politik Plato. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang
patut menjadi raja atau presiden adalah mereka yang mempelajari
filsafat. Dengan kata lain raja haruslah seorang filsuf, karena hanya
filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Selain itu filsuf juga tahu
tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya
tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut Plato,
hanya filsuflah yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena
pengetahuan adalah kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.
Sementara
Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk
polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus
mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya
karena hanya dalam kesejahteraan umum itulah kesejahteraan individual
dapat diperoleh. Menurut dia alangkah baiknya apabila negara diperintah
oleh seorang filsuf-raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat
bijaksana, karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para
warganya. Akan tetapi lanjutnya, di dunia ini tidak mungkin dapat
ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna, kareanya yang terpenting
adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik yang menjadi sumber
kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.
Filsafat
politik klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu
menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat.
Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan merupakan
abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna
bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih
pasti dan lebih agung yang hendak dicapai, kendati harus melewati
perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam filsafat politik modern,
pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan hak-hak miliknya.
Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat politik masa
kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi manusia,
demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.
2. Filsafat Hukum
Filsafat
hukum berbeda dengan ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat universal,
karena mem-persoalkan hukum secara umum. Filsafat hukum tidak
membicarakan hukuk di Indonesia atau di Amerika Serikat, melainkan hukum
itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat, Perandis
dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis
mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah apakah
sebenarnya dan hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah
fungsi dan tujuan hukum; apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus
patuh terhadap hukum.
Menurut
Plato hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki
penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi
yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang filsuf-raja. Karena
filsuf-raja selaku penguasa adalah orang yang paling arif serta memiliki
moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu
merasa khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan menyalahgunakan
kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat logis dari
keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini
karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala
sesuatu yang lain –termasuk hukum– harus berada di bawahnya.
Akan
tetapi kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari
orang yang benar-banar arif dan memiliki pengetahuan yang sempurna. Oleh
sebab itu, dia mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan
membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah
dengan hukum dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan berarti bahwa
Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Menurutnya, undang-undang
dibuat demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh mengikat, membelenggu
dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah
atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang. Plato juga
berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan
untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi juga
untuk menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok
sehingga benar-benar layak menjadi warga negara ideal.
Selanjutnya
Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam
negara. Apabila hukum telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan
para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan
umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki kewibaan dan
kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang
seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan menusia. Karena
bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat
menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles
adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum
tertulis. Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan
pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum kebiasaan
bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak
berubah-ubah. Adapun hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan
ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan manusia.
3. Filsafat Agama
Filsafat agama bukanlah cabang theologi,
karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma, ajaran
teologis tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang
filsafat yang baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering
kali dikacaukan dengan theologi natural – istilah yang telah
dikenal sejak abad pertengahan – namun permasalahannya telah
dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural merupakan upaya
rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu
benar-benar ada ? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu,
bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya dengan manusia dan
alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM) mengatakan
bahwa Tuhan itu benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan, tidak
bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan
melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan pikiranNya.
Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna, Dia
bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak
digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat dikakatakan sebagai
puncak metafisika.
Dalam
filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran
kritis analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat
agama adalah hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman
religius manusia. Jadi filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan
iman, melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman an sich, di
samping Selain itu filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan
fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu
apa hakikat agama?. Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu
kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan,
sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah manusia. Oleh karena itu
agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan oleh akal budi
manusia.
Pengalaman
religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan.
Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar,
segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et Fascinosum”,
maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar, segan dan
takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatukan
diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan sangat
berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong
manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa
berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan
diri, taat, mengasihi dan bergantung kepadaNya.
4. Filsafat Pendidikan
Dalam
arti yang sangat luas, filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran
atau konsepsi filosofis tentang pendidikan. Ada pula yang mengartikan
sebagai proses pendidikan, yaitu yang bersangkut paut dengan cita-cita,
bentuk, metode atau hasil dari pendidikan. Juga ada yang mengatakan
bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu
pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep, ide dan
metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan
yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus
dan John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai bagian dari
sitem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik,
epistemologi dan metafisika yang mereka anut. Sedangka filsafat
pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh pengaruh filsafat analitik)
merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks
dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian disiplin
ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi
pendidikan.
Ada
beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat
pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting adalah :
· Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education)
dan sebagainya. Alat yang digunakan alam filsafat analitik untuk
melaksanakan tugasnya adalah logika dan lingualistik serta teknik-teknik
analisis yang berbeda antara seorang filsuf dengan filsuf yang lain.
· Progresivisme,
yang berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan
kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan
berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Seorang tokoh
pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial.
Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living),
bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses
kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih
diutamakan, bukan subject-oriented.
· Eksistensialisme,
mengatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak
didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah
eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh
eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil
pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan
di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting adalah apa yang
mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak
pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
· Rekonstruksionisme,
yaitu terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan
sivilisasi modern. Para penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan
reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum
sebagai “preblem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan
George S. Cound : “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial
baru ?”
5. Filsafat Sejarah
Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat sejarah spekulatif,
yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru
kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan
makna serta tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis,
yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan
justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu
sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.
Dalam
filsafat sejarah spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang
berupaya dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti dan makna sejarah
itu?. Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah
tujuan akhir proses sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif adalah
Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803),
Geong Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan
Arnold Joseph Toynbee (1889-1975). Dasar yang digunakan mereka untuk
menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi. Ada yang menafsirkan atas
dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius. Karl Max mengatakan
bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang
terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut
Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa
berulang.
Adapun
hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari
renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama
bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar
pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas ekspanasi
yang diketengahkan oleh sejarahwan profesional dan status epistemologis
narasi sejarah masa silam. Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan :
Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi sejarah memiliki validasi
obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce
(1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1945).
6. Filsafat Bahasa
Filsafat
bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat
analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang
filsuf Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa yang
dikembangkannya merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya
membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena
tidak didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk
memberi eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan
memberi penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat
analisis yang berdasar pada akal sehat (common sense). Dia
berpendapat bahwa kekacauan dalam filsafat terjadi karena ungkapan
filsafat bersimpang jalan dengan bahasa biasa yang digunakan
sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common sense) telah diabaikan.
Filsuf
lain yang mengembangkan filsafat analitik lebih lanjut adalah Bertrand
Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari
Universitas Caambridge. Menurut Bertrand Russell, bahasa yang benar
merupakan deskripsi dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur
paling kecil dari bahasa, dia menemukan gambaran dari fakta-fakta
atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa sebagai
atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu membentuk apa yang
disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana.
Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilmiah
haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.
Sementara
filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang
masiug-masing mempengaruhi aliran filsafat tertentu. Pemikiran
Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang
dikenal lewat karya tulisnya berjudul Tractus Logico-philosophicus
mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme di Inggris. Pikiran
Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang dikenal lewat
karyanya berjudul Philosophical Investigations menjadi titik awal analitika bahasa.
Wittgenstein
I menegaskan bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki
arti. Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang
jelas dari suatu realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak
memiliki arti. Sedangkan Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu
pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Ada berbagai
jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran
tersendiri. Dalam philosophical Investigations, Wittgenstein menjelaskan
konsepnya tentang permainan bahasa (language game). Permainan
bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian
bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan
dan aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradaukkan agar tidak
menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak
mungkin ada ketentuan dan perturan umum yang dapat mengatur seluruh
bentuk permainan bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata tergantung
pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada
pemakaiannya dalam bahasa.
7. Filsafat Matematika
Sejak sekitar
millenia ke 5 sampai ke 3 SM, matekatika telah dikenal di Mesir dan
Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan
berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan
di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu
rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan dan menentukan
kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk
konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan
tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf
Yunani sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal
adalah Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf
Yunani kuno bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut
mengembangkan.
Bagi
Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami
filsafat. Dia juga menemukan fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang
berbeda dapat memperlihat-kan sifat-sifat matematis yang identik. Karena
itu dia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke
dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras
yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos,
artinya segala sesuatu adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat
bahwa geometri adalah kunci untuk meraih pengetahuan dan kebenaran
filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang disebutnya ‘dunia ide’
yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami
lewat indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari ‘dunia ide’
tersebut.
Prinsip
pertama dan utama matematika pada saat itu adalah abstraksi karena bagi
para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika kebenaran
pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan
suatu keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan
demikian jelas bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat
bagi pemahaman filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran
filosofis itu sendiri. Pad masa kini filsafat matematika lebih
mengeraskan titik tumpunya pada studi tentang konsep-konsep matematika,
hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan karakteristiknya-,
prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam matematika dan
landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan para
ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih
banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun,
penghimpun dan penerbit ilmu matematika yang dianggap telah
berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.
FILSAFAT TENTANG TUHAN, MANUSIA DAN ALAM
1. Masalah Ketuhanan
Ketika
Perang Dunia II berkecamuk, terdapat suatu ungkapan yang populer bahwa
di dalam lubang-lubang perlindungan tidak ada penganut ateisme
(paham anti Tuhan). Makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah
apabila seseorang telah terjebak dalam situasi yang membahayakan jiwanya
tentu ia segera mengakui adanya Tuhan. Dalam kondisi seperti itu orang
merasakan betapa perlunya Tuhan, dan sebagai konsekwensinya dia harus
mengakui adanya Tuhan. Demikian Louis O. Kattsoff dalam bukunya
Pengantar Filsafat (1996 : 443), ketika mengawali pembahasan tentang
Apakah Tuhan Itu ?.
Pada dasarnya manusia – secara fitrah atau naluriyah – memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib
yang dapat melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Dalam
sejarah kepercayaan umat manusia yang sudah ribuan tahun ini, tercatat
beberapa perkembangan sisitem kepercayaan kepada yang gaib tersebut,
yaitu dinamisme, animisme, politeisme dan monoteisme.[15]
Dinamisme adalah bentuk kepercayaan bahwa benda alam semesta ini
mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, sehingga terkadang
dapat mendatangkan bahaya bagi mereka. Air yang selama ini mereka anggap
sangat bermanfaat bagi kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana
seperti banjir besar dan dapat membahayakan. Tanah yang selama ini
dianggap dapat menumbuhkan dan menyuburkan tanaman, tiba-tiba bergoyang
dan menghancurkan harta benda. Demikian pula pohon-pohon yang selama ini
dapat dimakan buahnya tiba-tiba membesar dan sangat rindang serta
bersifat angker, dan lain sebagainya. Dari sinilah muncul kepercayaan
bahwa setiap benda yang ada di sekeliling manusia mempunyai kekuatan
misterius, sehingga perlu diyakini, disembah dan dimintai pertolongannya
aga bisa memelihara atau melindungi manusia.
Berbeda
dengan dinamisme, animisme mempercayai bahwa setiap benda alam semesta,
termasuk manusia dan binatang serta benda yang tidak bernyawa sekalipun
mempunyai roh yang tidak terhingga banyaknya. Roh dalam pemahaman
masyarakat primitif ini adalah sesuatu yang sangat halus sekali,
mempunyai bentuk, umur dan mampu makan minum serta mempunyai kekuatan
dan kehendak, merasa senang dan susah. Roh diyakini bahwa apabila marah
akan membahayakan manusia, sehingga perlu disuguhi sesuatu yang membuat
dia senang dan rela seperti dengan cara sesajian berupa makanan atau
memberikan kurban kepadanya. Jadi animisme adalah paham yang mempunyai
kepercayaan kepada roh, yaitu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib
meningkat menjadi kepercayaan kepada roh.
Sementara
itu, politeisme adalah bentuk kepercayaan kepada abstarksi atau fungsi
benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Dalam kepercayaan
politeisme ini kekuatan gaib disimbolkan dengan Dewa yang masing-masing
mempunyai fungsi tersendiri, seperti menerangi alam, menurunkan hujan,
menetapkan nasib baik dan buruk manusia dan lain sebagainya. Pada
awalnya Dewa itu mempunyai kedudukan yang hampir sama, namun karena
beberapa hal akhirnya lama kelamaan beberapa di antara mereka memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain.
Adapun
monoteisme adalah bentuk kepercayaan kepada satu Tuhan. Orang-orang
yang berfikir lebih mendalam menganggap bahwa sistem kepercayaan
politeisme (banyak Tuhan / Dewa) tidak rasional dan tidak memuaskan.
Oleh sebab itu mereka mencari sistem kepercayaan yang dapat diterima
akal dan memuaskan. Dari sini timbullah aliran yang mengambil satu Dewa
dari beberapa Dewa yang ada sebagai Dewa utama untuk disembah.
1.1. Paham atau Aliran Ketuhanan
Dalam catatan sejarah ada beberapa pandangan manusia tentang Tuhan, yaitu teisme, deisme, panteisme dan penenteisme.[16] Aliran teisme
mengatakan bahwa alam diciptakan oleh Tuhan yang tidak terbatas, antara
Tuhan dan makhluk sangat berbeda. Menurut teisme, Tuhan di samping
berada di alam juga jauh dari alam. Menurut aliran ini Tuhan setelah
menciptakan alam, tetap aktif menjaga dan memelihara alam. Agama-agama
besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam pada dasarnya menganut paham
teisme ini. Terdapat perbedaan yang cukup menonjol tentang teisme dalam
agama Islam dan Yahudi dengan Kristen (Nasrani). Dalam Islam dan Yahudi
Tuhan adalah zat yang Esa, sedangkan dalam Kristen Tuhan adalah tiga
pribadi (Trinitas).
Dalam
agama Islam kejelasan tentang Tuhan adalah Maha Esa, sekaligus
transenden dan imanen. Beberapa ayat al-Qur’an mengutarakan konsep ini,
seperti sSurah Al-Ikhlas menunjukkan tentang keesaan Tuhan (Allah),
sementara transenden Tuhan dijelaskan dalam surah al-A’raf ayat 54 yang
berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.
Adapun Imanen Tuhan dijelaskan dalam surah Qaf ayat 16, yang artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya”. Kemudian surah Yunus ayat 3 menjelaskan bahwa Tuhan di
samping transenden juga imanen, yang artinya, “Sesungguhnya Tuhan kamu
adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian
Dia bersemayam di atas ‘Arys untuk mengatur semua urusan”. Di awal ayat
ini dijelaskan bahwa Tuhan berada di atas ‘Arsy yang berarti Dia jauh
dari alam, namun di akhir ayat dijelaskan bahwa Tuhan mengatur semua
urusan yang mengesankan bahwa Dia selalu memperhatikan alam (imanen).
Konsep teisme dalam Islam lebih lanjut dijelaskan oleh seorang Imam
besar sekaligus Filosof Muslim bernama Al-Ghazali. Menurutnya Allah
adalah zat yang Maha Esa dan pencipta alam semesta serta berperan aktif
dalam mengendalikannya. Allah menciptakan alam dari tidak ada, dan Dia
bisa mengubah hukum alam dan semua ciptaannNya – sekalipun menurut
manusia dianggap tidak dapat berubah – sesuai dengan kekuasaan dan
kehendak-Nya yang mutlak.
Tokoh
Kristen yang pertama kali mengemukakan gagasan teisme adalah St.
Agustinus yang mengatakan bahwa Tuhan ada dengan sendirinya, tidak
diciptakan, tidak berubah, bersifat abadi dan personal serta maha
sempurna. Menurutnya Tuhan mencitptakan alam, juah dari alam dan di luar
demensi waktu, tetapi Dia mengendalikan setiap kejadian dalam alam ini.
Manusia menurutnya adalah sama dengan alam, tidak abadi, terdiri atas
jasad yang fana dan jiwa yang tidak mati. Setelah kematian, jiwa
menunggu penyatuan, baik dengan jasad lain maupun dengan keadaan yang
lebih tinggi, yaitu sorga atau neraka. Ketika dibangkitkan jiwa manusia
akan mencapai kesempurnaan. Karena itu hakikat manusia yang sebenarnya
adalah jiwa, bukan jasadnya. Jiwa yang bersih akan kembali kepada
Penciptanya, yaitu Tuhan.
Sementara
Filosof Yahudi yang menganut paham teisme adalah Ibnu Maimun atau
Maimonides. Menurutnya Tuhan meliputi semua posisi yang penting, tidak
berjasad dan tidak berpotensi serta tidak menyerupai makhluk. Dalam hal
ini Tuhan sama sekali jauh dari pengetahuan dan pemahaman manusia,
karena Dia adalah transenden. Sungguhpun demikian, lanjut Ibnu Mainum
Tuhan tetap memperhatikan nasib makhluk-Nya dan mengabulkan do’a
hamba-Nya. Bukti perhatian Tuhan kepada makhluk antara lain memberikan
nikmat yang bertingkat-tingkat. Semakin penting sesuatu itu untuk
kebutuhan hidup maka semakin mudah dan murah diperoleh, sebaliknya
semakin tidak dibutuhkan maka semakin jarang dan mahal didapatkan.
Contohnya udara, air dan makanan adalah merupakan kebutuhan pokok
manusia. Dalam hal ini udara paling dibutuhkan, karena tanpa udara
manusia akan mati dalam waktu singkat, sementara dia bisa bertahan hidup
satu sampai dua hari kendati tidak ada air. Udara sebagai kebutuhan
paling pokok sangatlah mudah diperoleh dan lebih banyak
daripada air. Demikian pula halnya dengan air akan lebih mudah
diperoleh ketimbang makanan, karena air lebih dibutuhkan daripada air.
Orang mungkin masih bisa bertahan hidup selama satu minggu atau lebih
dengan tidak makan, tapi dia akan mati jika tidak minum selama tiga hari
saja.
Adapun deisme
adalah suatu paham atau aliran ketuhanan yang mengatakan bahwa Tuhan
berada jauh di luar alam. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Dia
tidak lagi memperhatikan dan tidak memeliharanya. Alam dibiarkan
berjalan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan ketika proses
penciptaannya. Aturan-aturan itu sangat sempurna dan tidak berubah-ubah.
Dalam paham deisme ini Tuhan diibaratkan dengan tukang buat jam yang
sangat ahli, sehingga setelah jam itu selesai dibuat tidak lagi
membutuhkan si pembuatnya. Jam itu berjalan dengan mekanisme yang telah
disusun secara rapi. Begitulan bahwa alam menurut paham deisme ini
bagaikan jam, yang setelah diciptakan tidak lagi membutuhkan Tuhan
Deisme
mulai muncul pada abad ke 17 M yang dipelopori oleh Newton. Menurutnya,
Tuhan hanya pencipta alam dan jika ada kerusakan, baru alam membutuhkan
Tuhan untuk memperbaikinya. Kemudian dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
maka sebagian ilmuan semakin meyakini kebenaran dan keuniversalan
hukum-hukum fisika yang tidak berubah. Akibatnya, ahli fisika
beranggapan bahwa kebutuhan alam terhadap Tuhan dengan sendirinya
semakin kecil. Lama kelamaan mundullah paham bahwa Tuhan hanya
menciptakan alam, selanjutnya membiarkannya berjalan menurut hukum-hukum
yang telah ditentukan. Para penganut deisme sepakat bahwa Tuhan itu Esa
dan jauh dari alam serta maha sempurna. Mereka juga sepakat bahwa Tuhan
tidak melakukan intervensi terhadap alam lewat kekuatan supranatural.
Sedangkan Panteisme
adalah paham yang berkeyakinan bahwa seluruhnya adalah Tuhan. Menurut
paham ini bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh
alam. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera adalah bagian
dari Tuhan. Paham ini jelas bertolak belakang dengan deisme yang
mengatakan bahwa Tuhan itu jauh dengan alam. Plotinus termasuk pendukung
paham ini, yang dengan teori emanasinya dia mengatakan bahwa alam
merupakan pancaran atau sesuatu yang mengalir dari Tuhan. Menurutnya, Tuhan
tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak itu
hanya mengalir dari yang satu, yang wajib ada, sederhana dan absolut.
Filosof
modern yang mempelopori panteisme adalah Benedict de Spinoza dan Victoe
Ferkiss. Menurut Benedict de Spinoza, dalam jagad raya ini tidak ada
yang rahasia karena akal manusia mencakup segala sesuatu, termasuk
Tuhan, bahkan Tuhan menjadi obyek pemikiran akal yang terpenting.
Menurut dia hanya ada satu substansi dan yang dimaksud substansi adalah
apa yang ada dalam dirinya sendiri. Artinya bahwa substansi adalah
sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung kepada apapun selain
dirinya. Sementara Victor Ferkiss mengemukakan bahwa alam identik
dengan Tuhan, sehingga manusia merusak alam berarti merusak Tuhan.
Berdasarkan keyakinan ini, segala sesuatu yang terbatas, seperti alam
beserta isinya tidak dapat berdiris sendiri, melainkan tergantung kepada
substansi yang Satu tersebut. Substansi yang satu itu berada dalam
segala sesuatu yang beraneka ragam. Tuhan dalam paham ini merupakan
kesatuan umum (impersonal) yang mengungkapkan diri-Nya dalam alam.
Selanjutnya, Panenteisme
adalah suatu paham yang mengatakan bahwa semua dalam Tuhan. Beda dengan
panteisme yang mengatakan bahwa semua adalah Tuhan. Panenteisme lebih
menekankan Tuhan pada aspek terbatas, berubah, mengatur alam dan
bekerjasama dengan alam untuk mencapai kesempurnaan, ketimbang memandang
Tuhan sebagai zat yang tidak terbatas, menguasai alam dan tidak
berubah. Menurut paham ini Tuhan terdiri dari dua kutub, yaitu kutub potensi yakni bahwa Tuhan abadi, tidak berubah dan transenden, dan kutub aktual dalam arti bahwa Tuhan berubah, tidak abadi dan imanen (dekat dengan alam).
Salah
seorang pelopor panenteisme adalah Alfred North Whitehead. Menurutnya
Tuhan sebenarnya terbatas, sebab untuk menjadi sesuatu yang aktual harus
terbatas. Tidak mungkin Tuhan tidak terbatas dalam kutub aktual-Nya,
sebab jika Dia tidak terbatas tentu menjadi jahat sekaligus baik. Karena
itu Tuhan sama sekali tidak bebas, tetapi tergantung pada alam. Dengan
demikian Tuhan dan alam bekerjasama untuk mencapai kesempurnaan yang
tertinggi. Dalam hal ini Tuhan berfungsi sebagai pengatur alam aktual.
Jadi Tuhan ada bersamaan dengan alam, bukan ada sebelumnya, namun alam
tidak identik dengan Tuhan. Tuhan sebagai daya yang menggerakkan dan
mengatur alam agar mampu mencapai tujuannya, sedangkan alam berfungsi
menolong Tuhan agar tertutup kekurangan-Nya.
Demikian
pandangan atau paham manusia tentang Tuhan yang kesemuanya itu, baik
teisme, deisme, pnteisme dan penenteisme tersebut memanga tidak ada yang
benar-benar memuaskan para filosof. Hal ini karena masalah Tuhan memang
masalah yang paling rumit, sebab Dia adalah zat yang immaterial,
supranatural dan maha gaib. Dalam kajian agama maupun filsafat, Tuhan
memang merupakan masalah yang paling pokok. Agama tanpa kepercayaan
kepada Tuhan tidak disebut agama, demikian pula filsafat yang pertama
kali muncul adalah masalah metafisik yaitu dari mana asal usul alam
semesta dan zat apa yang mendasarinya.
Tuhan Personal dan Tuhan Impersonal
Dalam
perspektif filsafat, Tuhan masih bersifat impersonal karena belum
memiliki identitas yang jelas. Para filosof, terutama pada masa Yunani
kuno, baru mampu mengetahui realitas tertinggi sebagai sebab dari semua
wujud, realitas itu belum merupakan konsep yang utuh sebagaimana dalam
agama. Sebagai contoh pendapat Thales bahwa alam semesta berasal dari
air, sedangkan Anaximenes menganggap berasal dari apeiron (sesuatu yang
tidak terbagi), dan Anaximandros mengatakan bahwa alam semesta berasal
dari udara, sementara Empedokles mengatakan bahwa itu berasal dari empat
unsur pokok yaitu udara, air, tanah dan api.
Plato
dan Aristotels kemudian mengemukakan pendapat yang sudah sampai pada
pemikiran terhadap suatu realitas di luar alam, yaitu zat yang berbeda
dengan alam, bersifat immateri, abadi, esa dan sempurna. Plato menamakan
zat tersebut Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak.[17]
Dalam pemikiran filsafat, realitas tertinggi ini merupakan ide manusia
dan kemestian logis dari pemikiran, namun belum disebut sebagai Tuhan
yang personal, tetapi Tuhan yang impersonal, sebab tidak memiliki
identiras. Tuhan yang personal hanya terdapat dalam paham agama, seperti
Yahudi, Nasrani dan Islam, karena identirasnya sudah begitu jelas. Pada
prinsipnya Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal dapat
dibedakan sebagai berikut :
· Tuhan
personal menekankan pada identitas sebagai zat yang sempurna dan
pencipta, Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas, tetapi yang
terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekwensi logis dari
keberadaan wujud.
· Tuhan
personal berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuham impersonal
berasal dari kesimpulan hasil pemikiran manusia. Karena itu, dalam agama
Tuhan adalah zat pencipta dan sekaligus pemelihara alam, sedangkan
dalam filsafat Tuhan hanya sebagai sebab awal dan tujuan segala wujud.
· Tuhan
personal merupakan zat yang menciptakan alam semesta dan sangat berbeda
dengan hasil ciptaan-Nya sehingga perlu disembah, sedangkan Tuhan
impersonal tidak perlu disembah karena merupakan hasil ede manusia.
· Tuhan personal adalah pencipta alam semesta, sedangkan Tuhan impersonal merupakan sebab atau sumber terjadinya alam semesta
2. Masalah Manusia
Manusia
termasuk makhluk yang sangat kompleks dan unik, sehingga pembahasan
tentang manusia hingga kini belum juga tuntas. Manusia memang merupkan
suatu obyek penyelidikan yang berharga, karena ia menyelidiki dirinya
sendiri dan pikirannya dikacaukan oleh dirinya sendiri. Ini berarti
bahwa manusia mempersoalkan dirinya sendiri. Dari berbagai pemikiran dan
penganalisaan serta penyelidikan tentang manusia akhirnya melahirkan
disiplin ilmu seperti antropologi, psikolog dan sosiologi. Dalam
pengkajian filsafat antropologi membahas hakikat manusia yang menyangkut
tentang apa, dari mana dan akan kemana atau untuk apa manusia.
Pemikiran tentang masalah manusia ini pada gilirannya melahrikan
beberapa aliran, seperti antara lain materialisme, idealisme, dualisme.[18]
Menurut
materialisme (juga disebut naturalisme) hakikat manusia adalah materi,
yakni apa yang kelihatan atau realitas. Rohani manusia memang ada, akan
tetapi bukan hakikat. Kepuasan dan kebahagiaan manusia terletak pada
badan atau fisik, maka jika badan hancur karena mencuti atau
mempertahankan kebenaran selesailah manusia itu, sedangkan ruhnya hilang
tidak karuan dan berpisah bersama badan. Tentu saja dalam hal ini tidak
ada surga dan neraka. Dengan demikian mati merupakan hal yang sangat
sederhana, karena tidak ada risiko bagi jiwa atau ruh. Idealisme justru
berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa hakikat manusia adalah rohnya. Paham
ini akan berujung pada masalah Tuhan, Surga dan Neraka.
Asal
manusia menurut materialisme adalah materi, sedangkan menurut idealisme
berasal dari hidup manusia berasl dari Yang Hidup (Tuhan). Adapun
tujuan hidup manusia menurut materialisme mati adalah hal yang sangat
sederhana dan tidak perlu dirisaukan sedangkan dalam pandangan idealisme
mati adalah kelanjutan dari kehidupan di dunia. Aliran dualisme
mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu matarial dan
imaterial, jasad dan jiwa. Keduanya sama-sama hakikat, karena itu materi
(jasad) tidak muncul dari imateri (roh / jiwa) dan imateri (jiwa) bukan
pula muncul dari materi (jasad). Adapun aliran dualisme menyatakan
bahwa hakikat manusia adalah tercakup kepada dua unsur jasmani dan
rohaninya, disebut manusia yang sebenarnya adalah ketika meliputi kedua
unsur itu. Oleh karena itu, menurut aliran ini kebutuhan manusia yang
menyangkut jasmaniyan maupun ruhaniyah harus sama-sama dipenuhi agar
keduanya sama-sama memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya.
2.1. Hubungan Jiwa dan Raga
Meskipun
ketiga aliran tersebut berbeda padangan dalam menentukan hakikat
manusia, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa manusia terdiri dari
unsur jiwa dan raga. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah sampai di
mana hubungan antara jiwa dan raga pada manusia. Berikut ini uraian
singkat tentang jawaban dari persoalan tersebut, dan kita terlebih
dahulu mulai dari pembahasan masalah jiwa.[19]
Ada tiga klasifikasi yang tepat tentang teori jiwa (mind), yaitu :
1) Teori yang memandang jiwa sebagai substansi yang berjenis khusus,
yakni yang dilawankan dengan material. Teori ini dikembangkan oleh
Sigmund Frued, dia mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga
bidang, yaitu id, ego dan superego. Id adalah nafsu yang
terdapat jauh di bawah sadar (nafsu bawaan dan nafsu seksual
(kelamin/libido)). Sedangka ego atau aku adalah jenis jiwa semacam
perantara yang terdapat di antara nafsu-nafsu di dalam id dengan dunia
luar yang terdiri dari material serta kemasyarakatan. Ego ini juga
meliputi proses-proses akali jiwa manusia yang memilih sarana-sarana
yang dapat digunakan untuk menjelmakan nafsu-nafsu tersebut. Adapun
superego adalah jiwa yang setelah mengalami kemajuan dalam kehidupan, ia
tidak hanya berhasil mengembangkan cara-cara untuk menghadapi
kenyataan, melainkan melalui masyarakat ia juga telah menetapkan
seperangkat kaidah dan cita-cita yang merupakan bagian dari segi
kehidupan kejiwaan manusia
2) Teori yang memandang jiwa sebagai sejenis kemampuan;
semacam pelaku atau pengaruh dalam berbagai kegiatan. Menurut Joseph A.
Leihton jiwa itu bersifat trans-spasila (mengatasi segenap ruang),
dalam arti bahwa jiwa merupakan pemersatu yang sadar dan pusat
ketegangan pengalaman ragawi. Untuk menjelaskan hal ini dapat dilihat
dari sejumlah proses kejiwaan berikut. Rasa sakit itu bertempat pada
bagian raga dan dapat meliputi suatu lingkungan yang lebih besar atau
lebih kecil. Bagi seorang ahli ilmu jiwa sesungguhnya rasa sakit tidak
terdapat di tempat yang dirasakan sakit, melainkan terdapat pada jiwa.
Tentu saja yang dimaksudkan adalah rangsangan tadi melalui syaraf yang
kemudian dilanjutkan ke jiwa sebagai penerima rangsangan terakhir yang
membuahkan rasa sakit. Dapat juga dipahami bahwa jiwa seakan-akan
mengembang ke bagian raga yang terasa sakit, sehingga rasa sakit itu
dikatakan terdapat di situ karena jiwa juga terdapat di situ. Tafsiran
inilah yang dimaksudkan oleh Leigton bahwa jiwa manusia dapat mengembang
dan merembisi bagian-bagian lain. Leighton selanjutnya mengatkan bahwa
jiwa manusia merupakan pusat hubungan-hubungan dan mempunyai kemampuan
mengendalikan, merembisi, mempersatukan dan mengarahkan kembali
ketegangan-ketegangan spasial (ruang dan waktu) yang terdapat dalam
lingkungan fisiknya. Kemampuan yang dipakai sabagai sarana melakukan hal
tersebut merupakan tenaga khas yang terjadi dalam berkehendak yang
sifatnya refleksi dapat menentukan pilihan. Di samping itu terdapat
kegiatan jiwa yang lain yaitu mengingat kembali. Melalui kegiatan
ini seseorang dapat mengendalikan hari depan dengan memanfaatkan
hal-hal yang terdapat pada masa silam. Dalam hal ini jiwa mengadakan
pilihan yang sifatnya menyaring, mengadakan analisa, sintesa dan
mengingat kembali sehingga dapat membebaskan dirinya dari keadaan yang
semata-mata ditentukan oleh benda-benda jasmaniyah. Inilah fungsi
tertinggi yang dimiliki oleh jiwa. “Sesungguhnya jiwa merupakan
kesadaran organisme mengenai hubungan antara dirinya dengan hal-hal lain
yang sebenarnya atau yang bersifat kemungkinan di dalam kerangka suatu
sistem kenyataan yang dinamis” Demikian menurut Leighton. Jika
tindakan yang dilakukan seseorang berdasarkan pertimbangan akal, maka
berarti dia mengingat kembali masa lampau, meramalkan masa depan dan
menyadari keterlibatannya dalam akibat-akibat tindakan itu, akhirnya
memilih untuk melakukan sesuatu. Inilah fungsi-fungsi yang dimiliki oleh
jiwa. Dengan demikian pendirian Leighton adalah bahwa Jiwa tidak sama
dengan raga, meskipun yang satu tidak terpisahkan dengan yang lain. Jiwa
merupakan sesuatu yang hakiki untuk kehidupan dan kebahagiaan manusia.
3) Teori yang memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada organisme-organisme hidup. Teori ini dimunculkan oleh James B. Pratt. Dalam bukunya berjudul Matter and Sprit
Pratt menyebutkan bahwa untuk menggambarkan ciri-ciri jiwa adalah
dengan jalan melukiskan kegiatan apa yang dilakukan oleh jiwa itu
sendiri. Menurutnya jiwa adalah sesuatu yang mempunyai cita-cita dan
tujuan, berkehendak, menderita, berusaha dan mengetahui. Jiwa menurutnya
memiliki empat kemampuan, yaitu (1) kemampuan menghasilkn
kualitas-kualitas penginderaan, (2) kemampuan menghasilkan makna-makna
yang berasal dari penginderaan khusus, (3) kemampuan memberikan
tanggapan terhadap hasil peng-inderaan dan makna-makna dengan jalan
merasakan, berkehendak atau berusaha, dan (4) kemampuan memberikan
tanggapan terhadap proses-proses tang terjadi dalam benak untuk mengubah
haluannya. Dan selain itu tidak ada suatu hal pun yang mempunyai sifat
seperti jiwa, yakni dapat mengingat, berkecenderungan, merasakan,
bertujuan dan bercita-cita.
Dalam
hal ini Pratt menggunakan dua macam ungkapan yang berbeda, yaitu “jiwa
adalah apa yang dikerjakannya”, yang berarti jiwa adalah suatu proses
dan “jiwa menggunakan raga sebagai alat" maksudnya adalah merupakan
semacam kemampan. Dia mengakui bawa hubungan-hubungan yang terdapat
antara jiwa dan raga sangat berliku-liku, sehingga sulit untuk mengtakan
apakah jiwa atau raga. Tetapi kegiatan jiwa dapat diselidiki hanya
melalui pernyataan-pernyataan ragawi. Ini bermakna bahwa pada manusia
ada jiwa ada raga atau ada proses kejiwaan dan proses ragawi, dan dengan
suatu cara tertentu proses kejiwaan menggunakan proses ragawi sebagai
alatnya. Di sini jelas, Pratt bahwa penganut dualisme. Akan tetapi Partt
juga mengatakan bahwa jiwa sebagai proses tidak sama dengan raga sebagai proses.
Proses kejiwaan seperti ingatan, kehendak, pemikiran, dan sebagainya
(proses konatif dan kognitif) sama sekali berbeda dengan proses ragawi
seperti keceatan, dampak, gaya berat, dan sebagainya, namun sekaligus
menjadi petunjuk yang jelas adanya keadaan saling mempengaruhi
antara jiwa dan raga. Selanjutnya dia mengatakan bahwa cara untuk
menyelidiki proses-proses kejiwaan adalah melalui penjelmaan ragawi. Ini
berarti dengan suatu cara tertentu proses ragawi sesungguhnya merupakan
penjelmaan proses kejiwaan.
4) Teori
yang menumbuhkan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.
Seorang ahli ilmu jiwa Amerika bernama John Watson merumuskan sebuah
teori yang disebut behaviorisme. Pendirian ini mengatakan bahwa
yang namanya jiwa atau bahkan kesadaran itu sesungguhnya tidak ada, dan
dia senantiasa menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menunjuk suatu
macam tingkah laku. Sementara itu Y.H. Krikorian yang menganut
naturalisme mengembangkan teori jiwa sebagai tingkah laku.
Menurut Krikorian bahwa apabila seseorang mengatakan sesuatu yang di
dalamnya terdapat kata “jiwa”, maka yang ditunjuk adalah suatu jenis
tingkah laku. Karena pada dasarnya setiap pengamatan tentang jiwa
seseorang senantiasa memperhatikan tingkah laku orang yang bersangkutan.
Sehubungan satu-satunya pendekatan tentang hal itu adalah penelitian
mengenai tingkah laku, maka menurut Krikorian, pasti dapat dipahami
bahwa jiwa didefinisikan sebagai sejenis respon. Akan tetapi tidak
setiap respon bersifat kejiwaan, seperti misalnya bernafas responnya
adalah berupa oksidasi. Jelas ini bukan merupakan respon
kejiwaan, meskipun seandainya pernafasan itu terjadi di bawah
pengendalian pusat-pusat otak manusia. Begitu pula dengan gerakan
refleks tidak ada yang bersifat kejiwaan, karena respon yang terjadi
tidak sampai pada tingkatan jiwa, melainkan tetap bersifat mekanis atau
kimiawi.
Krikorian
selanjutnya mengatakan bahwa jika ada respon yang dikatakan bersifat
kejiwaan, maka terdapat suatu reaksi yang bukan hanya ditujukan terhadap
rangsangan sebagai obyeknya, melainkan juga kepada makna rangsangan
tersebut. Respon terhadap akibat-akibat yang sudah diramalkan sebelumnya
berbeda dengan respon yang diakibatkan misalnya ketukan pada lutut.
Dalam kaitan ini sesungguhnya jiwa ialah respon yang telah diramalkan sebelumnya.
Menurut Krikorian ada tiga matra (fungsi atau corak kegiatan) respon
yang telah diramalkan sebelumnya: (1) kemampuan menggunakan sarana dalam
mencapai tujuan, yaitu daya pemahaman atau kemampuan memperoleh
pengetahuan, (2) kemampuan mengejar tujuan yang telah dibayangkan, yakni
kemampuan berkehendak atau menaruh perhatian, dan (3) kemampuan
memperoleh pengetahuan mengenai jiwa, yaitu kesadaran.
Louis
O. Kattsoff tidak memandang jiwa sebagai sesuatu yang khusus atau
merupakan sesuatu proses atau yang lainnya. Namun demikian, apapun
hakikat jiwa itu, sudah pasti ada kaitannya dengan jenis-jenis proses
tertentu, sebab yang dinamakan jiwa itu ialah sesuatu yang orang lain
tidak dapat menunjukkannya. Tidak ada seorangpun yang pernah atau dapat
melihat jiwa, kecuali apabila jiwa itu diberi arti sama dengan benak
atau daya fikir dan sebagainya. Selanjutnya Kattsoff mengatakan bahwa
ada dua proses kejiwaan, yaitu proses konatif dan proses kognitif.
Proses-proses konatif meliputi proses yang bersumber pada perasaan,
kehendak dan dorongan hati (proses yang dapat menggerakkan seseorang).
Para ahli ilmu pada umumnya mengatakan bahwa proses-proses tersebut erat
hubungannya dan sederajat dengan proses kimiawi dalam tubuh manusia.
Adapun proses kognitif proses kejiwaan yang berhubungan dengan cara
memperoleh pengetahuan, seperti berfikir, mgningat-ingat, serta
melakukan penalaran dan pencerapan (perhatian).
Kegiatan
konatif dan kegiatan kognitif itu berbeda, namun umumnya dapat
dikatakan bahwa keduanya saling berhubungan. Umpamanya, pengaruh emosi
terhadap masalah pengetahuan jelas nampak pada kesaksian-kesaksian yang
diberikan seorang saksi. Seorang hakim secara pribadi terlihat dalam
suatu perkara yang harus diputuskannya tidak layak untuk bertindak
sebagai hakim. Sebaliknya bisa saja terjadi bahwa pengetahuan dapat
mempengaruhi perasaan, seperti seorang yang mempunyai pengetahuan bahwa
kemarahan dapat mengganggu proses pencernaan makanan tidak akan
membiarkan dirinya menjadi marah. Seseorang
yang mengetahui bahwa prajurit yang tidak bringas akan bertempur dengan
lebih mahir, dapat menjadikan dia sendiri akan berusaha keras untuk
tetap tenang dalam suatu peperangan.
Dalam
membicarakan masalah hubungan antara jiwa dan raga, ada beberapa hal
menonjol dari uraian tersebut, terdapat persoalan yang harus
diselesaikan, yaitu apakah jiwa merupakan fungsi raga atau raga
merupakan fingsi jiwa, atau apakah jiwa dan raga merupakan bagian dari
suatu jenis ketiga ?. Di antara kemungkinan yang pertama dianut oleh idealisme, yang kedua dianut oleh materalisme dan yang ketiga dianut oleh monisme netral. Ada sejumlah istilah yang acap kali dihubungkan dengan penyelesaian masalah hubungan jiwa dan raga tersebut, yaitu :
a) Epifenomnalisme.
Paham ini mengatakan bahwa satu-satunya unsure yang didapati apabila
menyelidiki proses kejiwaan ialah syaraf. Kesadaran manusia sekedar
merupakan hasil dari proses syaraf. Hal itu diibaratkan seperti hubungan
nyala cahaya dngan panasnya pijat bola lampu listrik. Kalimat jiwa merupakan proses-proses syaraf dengan jiwa merupakan hasil sampingan dari proses syaraf berbeda makna. Ini sama dengan bedanya kalimat cahaya itu listrik dan cahaya merupakan akibat dari arus listrik.
b) Interaksionisme. Paham
ini mengatakan bahwa jiwa dan raga memang berbeda, namun yang satu
mempengaruhi yang lain secara timbal baik. Teori yang mendasarkan diri
atas akal sehat, sebagian besar menyetujui paham ini. Descartes
beranggapan bahwa hakikat jiwa adalah pemikiran sedangkan hakikat materi adalah eksistensi. Walaupun yang satu berbeda dengan yang lain tapi keduanya saling mempengaruhi.
c) Paralelisme Psikofisik,
yang mengatakan bahwa ada dua macam sistem kejadian, yang bersifat
ragawi dan yang bersifat kejiwaan. Sistem kejadian ragawi terdapat pada
alam sedangkan kejadian kejiwaan terdapat pada jiwa manusia. Kedua
sistem kejadian ini tidak ada hubungan kausalitas. Menurut ajaran
Spinoza dalam bukunya Etika bahwa antara kejadian yang terdapat
dalam kedua sistem itu nampak saling hubungan, sederajat dan
berpasang-pasangan, maka tanmpaknya terjadi suatu interaksi dari
keduanya. Bagaaimana cara terjadinya paralelisme tersebut, menurutnya
adalah memang sudah dibuat oleh Tuhan.
Menurut
Pythagoras keabadian jiwa manusia dan perpindahannya ke dalam jasad
hewan apabila mereka telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah
lagi ke jasad lainnya, demikian seterusnya. Perpindahan jiwa yang
demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu akan
kembali ke tempat asalnya di langit apabila proese penyucian telah
selesai. Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manausia harus
berpantang terhadap jenis makanan tertentu, taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan
pythagorean serta bermusik dan berfilsafat.
Demokritos
(460-370 SM) mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun materi
yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, halus dan licin, oleh
sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Dengan demikiran atom
jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar
ke seluruh tubuh manusia. Sementara Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa
manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh merupakan musuh jiwa. Karena
tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada di dalamnya, maka
tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian,
yaitu nous (akal), thumos (semangat) dan ephitumia (nafsu). Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
Aristoteles
(384-322 SM) menyatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang
satu. Tubuh adalah materi dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan, maka konsekwensinya adalah pada saat
manusia mati, tubuh dan jiwa sama-sama mati. Ini berarti bahwa jiwa
manusia tidak kekal abadi. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada
kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Sedangkan dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa
adalah dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah
suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks.
Adapun jiwa adalah sesuatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh
ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berfikir,
berkehendak dan sebagaianya. Kendati berbeda dan terpisah, tubuh dan
jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama lainnya, bagaikan kapal
dan juru mudinya.
Goerge
Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala
realitas yang nampak. Penolakannya terhadap materi menunjukkan bahwa
Berkeley adalah seorang spritualis. Akan tetapi, idealisme subyektif
spritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada
yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan inderawi. Sesuatu itu
dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran
sesuatu itu tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang melihat
dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda kehadiran roh.
Sebaliknya, Feuerbach (seorang materialis yang menyangkal segi rohani
manusia) mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Tuhan. Demikian pula
di balik tubuh tidak ada jiwa. Feuerbach sendiri tidak mau menyebutkan
ajarannya sebagai materialisme, melainkan organisme.
Dia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh
materialisme. Feuerbach menolak materialisme dengan mengajarkan bahwa
manusia adalah makhluk hidup yang organis, oleh karenanya mereka selalu berhubungan secara konkret dengan sesamanya (jan Hendrik Rapar, 2001 : 50-51).
Kemajuan
ilmu jiwa (psikologi) dan ilmu kedokteran dewasa ini menunjukkan bahwa
jiwa berpengaruh terhadap raga. Proses-proses kejiwaan mempengaruhi
proses yang semata-mata bersifat ragawi. Begitulah emosi berpengaruh
terhadap pencernaan makanan dan amarah menimbulkan kegiatan-kegiatan
kelenjar. Suara musik dapat menggerakkan emosi; sementara itu kurang
makan yang berkepanjangan akan mengakibatkan mundurnya hasrat seksual.
Juga telah diketahui bahwa derajat kesembuhan dalam sejumlah penyakit
tertentu dapat dipengaruhi oleh sikap kejiwaan dari mereka yang sakit.
Bahkan ada bukti yang menunjukkan bahwa derajat pertumbuhan ragawi
seorang anak tergantung pada suasana emosional di mana ia hidup.
Penyelidikan juga banyak dilakukan dalam upaya menarik suatu hubungan
antara kualitas fisik dengan sifat kejiwaan seseorang. Kita juga
mengetahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara gangguan-gangguan
pada kelenjar dengan pertumbuhan seseorang. Penyelidikan mengenai
hubungan antara jiwa dengan raga itu dalam istilah ilmuan modern disebut
“Psikosomatika”. Dengan demikian cukup jelas bahwa jiwa dan raga memang bertautan dalam batas-batas tertentu.
2.2. Manusia Sebagai Makhluk Berfikir
Berbeda
dengan makhluk lain, manusia mempunyai ciri istimewa yaitu kemampuan
berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendak.
Aristoteles memberikan identitas kepada manusia sebagai “animal rationale”,
yakni binatang berfikir. Lalu apa yang dipikirkan?, mengapa harus
berfikir?, bagaimana pemikirannya itu? dan untuk apa dia berfikir?.
Mengenai
apa yang dipikirkan adalah terpusat pada diri sendiri, dalam hal asal
mulanya, keberadaannya dan tujuan akhir hidupnya. Pada saat manusia
masih kecil, ia baru bisa melihat dan mengenal apa yang ada di
sekelilingnya secara reseptif, seperti makanan, minuman, pakaian, dan
benda-benda lainnya. Selanjutnya ia mengenal ayah dan ibunya, saudaranya
dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Selanjutnya, berkat
perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, ia mulai mengenal makna
sesuatu itu secara kritis,
yang kemudian fungsi dan keterikatan antara satu dengan yang lainnya.
Akhirnya sesensi dan eksistensi setiap hal itu menjadi semakin jelas.
Pengenalannya itu kemudian berkembang menjadi semakin kreatif.
Dalam keadaan seperti itu manusia sudah bisa mengadakan makanan,
minuman dan barang-barang kebutuhan yang lain dengan memanfaatkan sumber
daya alam sekitarnya bahkan sudah mulai bisa menciptakan
kelompok-kelompok sosial yang baru.
Dengan
pemikiran yang kritis dan kreatif tersebut, manusia mulai memikirkan
dirinya sendiri, yakni hakikatnya sebagai manusia. Dari pemahaman
tentang hakikat pribadinya ini, manusia lalu sadar akan adanya berbagai
macam persoalan hidup yang justru bersumber dari kebutuhan dan
kepentingan yang harus dipenuhi oleh setiap unsur hakikat pribadinya
itu. Kemudian dia sadar pula akan perlunya pemecahan berbagai masalah
atau persoalan tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya. Untuk itu dia
berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya dari yang mistis-religius menuju ke ontologis-kefilsafatan sampai kepada tarap yang paling konkret-fungsional (Suparlan Suhartono, 2004 : 39).
Pemikiran yang mistis-religius
– yang berarti juga pemikrian resepti – adalah menerima segala sesuatu
sebagai kondrat Tuhan, yang manusia tidak mungkin dan tidak perlu
mengubah-nya. Misalnya jika seorang nelayan kembali dengan perahu
kosong, hal ini tidak perlu menjadi suatu derita, akrena Tuhan memang
menghendaki demikian, dan dia harus menerima adanya. Adapun pemikiran
yang konkret-fungsional
(teknologis) bermakna bahwa dalam pemikiran itu mengandung suatu
terobosan baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang
sedemi-kian rupa sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam,
melainkan justru bagaimana hukum alam
itu bisa dilampaui. Dengan demikian, para nelayan tidak harus
bergantung kepada arah angin, karena dengan pemikiran yang
konkret-fungsional ini nelayan bisa menggunakan perangkat teknologi
berupa perahu bermotor yang lengkap peralatannya, sehingga mereka lebih
produktif lagi.
Pemikiran
yang konkret-fungsional (teknologis) ini sudah berkembang sampai ke
taraf sosial budaya. Jalinan hubungan dengan sesama manusia telah
berubah menjadi praktis, pragmatis dan serba terbatas menurut tingkat
keperluan minimal. Nilai kegunaan bagi diri pribadi sudah menjadi ukuran
utama. Dari pola pemikiran itu, yang sebenarnya saudara bisa menjadi
orang lain dan orang lain bisa menjadi saudara, tergantung kepada
seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh. Komunikasi dengan orangtua
misalnya, cukup dengan pesawat telepon saja, karena waktu luangnya lebih
banyak dipergunakan untuk keperluan yang lebih menguntungkan. Orang
sudah tidak peduli lagi siapa pemimpinnya, apakah keturunan dewata atau
manusia biasa, yang paling penting adalah bisa memberikan manfaat bagi
dirinya. Masyarakat sudah tidak dipandang sebagai tujuan, malainkan alat
bagi tujuan-tujuan individual. Oleh karena itu berbagai rekayasa sistem
sosial dikembangkan secara radikal demi kemudahan tercapainya tujuan
individual tersebut. Masyarakat dirombak, dibangun dan dipacu ke arah
berbagai produktivitas yang bermanfaat secar praktis dan pragmatis.
Demikian
pula terhadap dirinya sendiri, manusia mulai bersikap teknis, sudah
mulai memfungsikan diri sepragmatis mungkin demi dirinya sendiri. Untuk
itu ia mengatur dirinya menurut jadwal yang ketat dalam catatan
hariannya, dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Intuisi,
perasaan dan kehendaknya ditekan dan hanya mengikuti berbagai pikiran
rasional belaka. Tatacara makan, minum dan berpakaian sudah
ditinggalkan, dan hanya mengutamakan segi kesehatan belaka. Tatacara
berbicara dan bertingkah laku sudah beralih menjadi semakin praktis dan
sedapt mungkin cepat dimengerti, seolah tidak memerlukan aturan atau
etika lagi. Bahkan bagaimana manusia harus berhubugan Tuhan juga sudah
diwarnai oleh pemikiran konkret-fungsional (teknologis) ini. Sholat dan
ibadah lainnya tidak lagi dilakukan karena panggilan hati nurani (agama)
melainkan karena perhitungan-perhitungan rasional, misalnya untuk
memperoleh kewibaan, simpati, sanjungan, penghargaan dari masyarakat dan
sebagainya. Agama tidak lagi tumbuh dan berkembang di dan dari dalam
dada, melainkan sebagai dekorasi badan agar orang lain selalu
menghormati dirinya.
Dengan
demikian perkembangan pemikiran manusia yang semakin
fungsional-teknologis itu sudah mulai memperlihatkan bahaya-bahayanya.
Dari sekarang, orang seharusnya mulai sadar bahwa pemikiran-pemikrian
ontologis-kefilsafatan dan mitodologis-keagamaan bukannya sama sekali
tidak berguna, melainkan perlu dipertimbangkan nilai-nilai minimalnya
sehingga mampu meluruskan pembelokan-pembelokan pemikiran yang
fungsional-teknologis itu. Perlu diingat bahwa sebenarnya ketiga corak
pemikiran itu ada bersama-sama dalam satu sistem watak dinamika
pemikiran manusia, karena ketiga corak pemikrian itu berada dalam
hubungan sebab akibat, maka tidaklah mungkin suatu sebab tanpa akibat
tertentu dan akibat tanpa sebab tertentu. Dalam segala macam jenis dan
bentuk pemikiran pasti mengandung ketiga sifat pemikrian
(mistis-religius, ontologis-kefilsafatan dan konkret-fungsional)
tersebut. Karena itu pemikiran boleh berkembang sefungsional mungkin,
tetapi tidak harus meninggalkan sama sekali watak ontologis dan yang
mitologis-keagamaan itu.
Jadi,
mengapa dan untuk apa manusia berpikir sedemikian?. Jawaban yang pasti
adalah untuk mencapai tujuan hidupnya. Adapun tujuan hidup manusia itu
ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Yang langsung adalah
tujuan yang harus dipenuhi selama hidupnya di dunia ini, seperti
kecukupan makan, minum, sandang, perumahan dan segala peralatan hidup.
3. Masalah Alam
Dalam
arti luas, yang dinamakan alam adalah hal-hal atau sesuatu yang ada di
sekitar kita dan yang dapat diserap secara inderawi. Secara lebih
cermat, istilah “alam” dapat dipakai untuk menunjuk lingkungan
obyek-obyek yang terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pada aneka zaman
pandangan orang mengenai alam dapat berbeda-beda. Berikut di antara
beberapa pandangan manusia terhadap alam.[20]
3.1. Pandangan Para Filsuf Yunani Kuno
Para
tokoh filsafat masa Yunani kuno yang menaruh perhatian sekaligus
mempermasalahkan alam adalah Thales (630–546 SM), Anaximander
(pertengahan abad 6 SM), Anaximenes (550 SM), Plato (427–347 SM) dan
Aristoteles (384–322 SM). Yang menjadi persoalan mereka adalah “apakah
substansi asli dari alam dengan berbagai perubahannya itu, darimana asal
usul alam dan zat apa yang menjadi dasarnya?. Thales mengatakan bahwa
itu semua adalah air, sementara Anaximandres mengataka udara, dan menurut Anaximenes berasal dari apeiron
(sesuatu yang tidak terbagi atau setara dengan Tuhan), sedangkan
Empidokles berpendapat bahwa alam terdiri dari empat unsur pokok yakni air, udara, api dan tanah.
Plato dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang sudah sampai pada
pemikiran mengenai suatu realitas di luar alam, yaitu zat yang berbeda
dengan alam, bersifat immateri, abadi, esa dan sempurna. Plato menyebut
zat itu Idea Kebaikan dan Aristoteles menamakan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak.[21]
Plato
mengatakan bahwa dunia atau alam ini diciptakan menurut suatu bentuk
tertentu yang bersifat abadi dan tidak berubah. Maksudnya, bentuk-bentuk
tersebut merupakan salah satu di antara unsur-unsur terdalam yang
menyebabkan terciptanya dunia. Sungguhpun demikian, dunia atau alam ini
tidak hanya tercipta oleh bentuk-bentuk belaka melainkan juga memasukkannya ke dalam sesuatu yang telah sama-sama ada, yang oleh Plato dinamakan wadah atau dalam istilah lain ruang. Dengan demikian pada dasarnya alam ini terbuat dari Ruang dan Bentuk.
Kemudian, Aristoteles dalam teori atau ajaran mengenai kosmologi (yang
masih erat hubungannya dengan kosmologi ajaran Plato) tidak membahas
masalah penciptaan, melainkan memberikan gambaran mengenai apakah yang
dinamakan kenyataan. Hal-hal yang bersifat nyata dan yang sungguh-sungguh bereksistensi o;eh Aristoteles dinamakan substansi.
Bagi Aristoteles istilah “alam” menunjuk kepada prinsip pertumbuhan,
pengaturan dan gerakan yang terdapat dalam segala hal atau sesuatu. Oleh
karena itu sesuatu hal dapat dikatakan alami apabila telah memiliki
prinsip semacam itu. Dengan demikian alam kodrat merupakan suatu keadaan
yang di dalamnya senantiasa terjadi perubahan-perubahan melalui cara
tertentu. Dengan kata lain bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam
alam kodrat pada dasarnya bersifat teleologis (berarah tujuan).
Dan yang menjadi ciri khas alam kodrat bukanlah keadaannya yang tetap
mealinkan gerakan, karena alam kodrat senantiasa mengalami perubahan dan
pertumbuhan, yang senantiasa terarah kepada suatu tujuan tertentu.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa alam kodrat terkena hukum
perkembangan, dan bukan sekedar merupakan hasil proses mekanis.[22]
Pandangan Pada Masa Renassance
Para
filsuf di masa renaissance (zaman modern) ini dapat disebukan antara
lain adalah Copernicus (1473-1543), Bruno (1658-1600), Kapler
(157101639), Galileo (1564-1641) dan Newton (1642-1727). Hasil terakhir
dari karya-karya mereka adalah penolakan atas gagasan mengenai alam yang
digambarkan sebagai organisme yang berhingga dan yang teleologis,
mereka memandang alam sebagai sesuatu yang tidak berhingga yang
menyerupai mesin (mekanik) dan tidak berjiwa.
Dengan menetapkan berlakunya teori heliosentris
(matahari merupakan pusat gerakan planet-planet), Copernicus secara
tidak langsung menunjukkan bahwa segenap bagian dari angkasa
sesungguhnya mempunyai kualitas yang sama. Tidak terdapat perbedaan
kualitas antara bumi dengan benda-benda angkasa, dan hukum-hukum gerakan
berlaku di mana saja dalam lingkungan alam semesta. Sementara Bruno
memahamkan alam semesta sebagai sesuatu yang tidak berhingga, yang
terhampar secara tidak menentu di dalam ruang dan membayangkan adanya
manusia-manusia yang mendiami dunia yang tidak terhitung jumlahnya, yang
kesemuaanya itu bergerak berdaarkan hukum-hukum yang sama. Sedangkan
Kepler dalam hal ini menolak ajaran gerakan alami, dan menampilkan
prinsip kelambanan yaitu prinsip yang mengatakan bahwa sebuah benda
cenderung untuk diam atau bergerak di tempat ia berada, kecuali apabila
ia dipengaruhi oleh suatu benda yang lain yang terdapat di sekitarnya.
Kepler mengajarkan tentang tenaga mekanis yang menghasilkan
perubahan-perubahan kuantitatif. Adapun Galileo mengembalikan segala
sesuatu kepada pengertian-pengertian matematik. Alam hendaknya
diselidiki dengan jalan menggunakan matematika, karena segenap kenyataan
pasti bersifat kuantitatif dan dapat diukur. Yang dinamakn
kualitas-kualitas sesungguhnya merupakan sekedar bagian lahiriyah yang
menampak pada barang sesuatu, yang dihasilkan dalam diri kita oleh
proses yang terdapat dalam benda-benda alami yang kemudian ditangkap
oleh alat-alat inderawi. Pada akhirnya Newton merangkum segenap
pandangan tersebut dan menyusun buku yang berjudul The Mathematical Principles of Natural Philosophy.
Menurut Newton alam merupakan sebuah mesin besar yang berjalan sesuai
dengan hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang terdapat di dalamnya
ditentukan oleh massa, posisi dan kecepatan yang dimiliki oleh
partikel-partikel materi yang terdapat di dalamnya. Materi ini bersifat
mati, dalam arti hanya mempunyai sifat-sifat kuantitatif dan terdapat
dalam dunia yang bersifat tidak berhingga yang ciri pokoknya adalah
adanya gerakan.[23]
Karena hasil terakhir pada masa renaissance berpendapat bahwa alam merupakan mekanisme, maka pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan mekanisme tersebut?.
Jika orang mengatakan bahwa arloji merupakan mekanisme yang rumit atau
bahwa mobil merupakan mesin, maka ini berarti karena arloji itu berjalan
sesuai dengan prinsip-prinsip mekanika dan mesin mobil berfungsi
sebagai mekanisme. Jadi, apa yang tidak berjalan sesuati dengan prinsip
tersebut bukanlah mekanisme. Lonceng listrik merupakan mekanisme, tapi
meja yang dipakai untuk menulis sama sekali bukan mesin. Lalu apakah
mesin itu ?.
Kamus Webster memberikan definisi bahwa mesin
adalah sebuah alat yang terdiri dari dua bagian atau lebih yang berada
dalam hubungan saling menekan, yang dapat digunakan untuk mengalihkan
serta mengubah tenaga dan gerakan begitu rupa sehingga dapat
menghasilkan suatu fungsi yang dikehendaki oleh manusia. Sedangkan mekanisme
adalah sebagai keseluruhan bagian dari mesin. Pengertian umum yang
melekat pada istilah mekanisme (atau mesin) adalah sesuatu yang berjalan
menurut hukum-hukum tertentu. Dengan demikian maka apabila dikatakan
bahwa dunia sebagai mesin berarti hukum-hukum mekanika berlaku bagi
dunia, atau lebih tepat bahwa segenap proses yang terdapat di dunia
dapat diterangkan dengan menggunakan hukum-hukum mekanika.
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT
Sejarah
perkembangan filsafar berkembang atas dasar pemikiran kefilsafatan yang
telah dibangun sejak abad ke 6 SM. Ada dua orang filsuf yang corak
pemikirannya boleh dikatakan mewarnai diskusi-diskusi filsafat sepanjang
sejarah perkembangannnya, yaitu Herakleitos (535-475 SM) dan Parmenides
(540-475 SM). Menurut Herakleitos, realitas ini berupa gerakan, perubahan dan keadaan yang serba menjadi. Semuanya serba mengalir (pantarhei). Di dalam sejarah perkembangan filsafat, paham atau aliran ini disebut tobecome
(filsafat menjadi). Kemudian, pandangannya itu menjadi pedoman bagi
pengetahuan yang benar atau kebenaran, di mana pancaindera menjadi
ukuran. Jadi, apa yang ditangkap indera, yaitu yang konkret, yang satu
persatu, yang selalu berubah dan menjadi adalah benar.
Sementara
Parmenides berpendapat sebaliknya, bahwa meskipun pengetahuan indera
diakui adanya atau eksistensinya, tetapi ia tidak mau mengakui kebenaran
yang dicapainya. Sebab seringkali orang tertipu oeh kesaksian indera.
Dalam kenyataan konkret, kita sering menyaksikan peristiwa-peristiwa
alam seperti ilusi, halunisasi, fatamorgana, gema dan sebagainya. Oleh
karena itu Parmenides mengidentifikasikan pengetahuan menjadi dua jenis :
a) pengetahuan semu, yakni pengetahuan seperti yang diperoleh pancaindera dan b) pengetahuan sejati,
yaitu pengetahuan yang dicapai oleh kemampuan akal budi. Menurutnya,
pengetahuan sejati inilah yang benar adanya. Karena pengetahuan akal
budi mempunyai sifat yang tetap dan umum (universal) maka realitas ini
bukannya menjadi, melainkan yang ada. Yang ada itu merupakan satu
keutuhan, bukan pluralitas yang dapat dibagi-bagi. Paham pemikiran
Parmenides ini sungguh bertentangan secara mutlak dengan paham
Herkleitos.
Pada
perkembangan selanjutnya dari kedua aliran utama tersebut muncul
berbagai aliran filsafat yang berusaha menanggapi dan mengembangkannya. Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Idealisme : Plato (427-347 SM)
Pada zaman Plato masih hidup, masalah yang paling populer adalah apakah hakikat realitas itu tetap (pendapat Parmenides) ataukah menjadi ([endapat Herkleitos)
?. Plato mengemukakan pendapatnya sebagai bentuk penyelesaian, yaitu :
“yang tetap” itu dapat dikenal melalui akal budi, sedangkan “yang
menjadi” dikenal dengan pengalaman. Di dalam pengalaman hidup
sehari-hari, kita mengenal banyak jenis manusia, ada yang lelaki dan ada
yang perempuan. Kelelakian dan keperempuannya pun berbeda-beda pula.
Tetapi dunia akal budi (idea)
hanya mengenal satu manusia saja, yang bersifat tetap dan tidak
berubah. Dunia pengalaman disbut sebagai “dunia semu” atau “dunia
bayang-bayang”. Sedangkan dunia idea
(akal budi) disebut sebagai “dunia asli” atau dunia yang sesungguhnya.
Jadi, manusia yang kita saksikan melalui pengalaman ini yang jumlah dan
jenisnya beraneka ragam merupakan bayang-bayang dari manusia yang hanya
ada satu di dunia idea itu.
Sedangkan mengenai pertanyaan “mengapa manusia yang beraneka ragam itu
ada” hal ini disebabkan karena perbedaan tentang caranya menjadi
bayang-bayang itu.
Melalui
pancaindera kita bisa mengenal manusia yang beranekaragam ini. Kemudian
persoalan-nya adalah bagaimana kita dapat mengenal dunia idea sebagai realitas yang sesungguhnya? Plato berpendapat bahwa sebelum ada di dunia pengalaman ini, manusia berada di dunia idea.
Setalah berkumpul dengan badan, maka bertemulah ia dengan bayang-bayang
yang berasal dari dunia idea (bayang-bayang sendiri). Dari pertemuan
itu, ia teringat bahwa sebenarnya ia pernah mengenalnya. Jadi dengan
jalan mengingat maka dunia idea
itu dapat dikenal. Berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai kepada
ajaran etika. Dia mengajarkan dalam etika bahwa siapa pun manusia itu
harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea
tertinggi adalah idea kebaikan. Dengan pemahaman tentang idea kebaikan
ini, maka kebahagiaan hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai
pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah
yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri.
2. Realisme : Aristoteles (384-322 SM)
Berbeda
dengan Plato, Aritoteles lebih menerima yang serba berubah dan menjadi,
yang beraneka ragam, yang semuanya ada di dalam dunia pengalaman,
sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya mengapa pandangan
Aristoteles disebut sebagai realisme. Dia mengatakan bahwa setiap hal atau benda tersusun dari hule dan morfe, yang kemudian dikenal dengan “teori hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macaman. Karena hule-nya maka suatu benda adalah benda itu sendiri atau benda tertentu. Misalnya si A bukan si B karena hule-nya. Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan yang menajdi inti dari segala sesuatu. Karena morfe-nya maka segala sesuatu itu sama dengan yang lain (satu inti) masuk ke dalam satu jenis yang sama. Morfe ini berbeda dengan hule,
dan hanya dapat dikenal dengan akal budi saja. Mislanya Ali, Ani dan
Ahmad yang berbeda-beda itu berada di salam morfe yang sama, yaitu
sebagai manusia. Namun demikian, baik hule maupun morfe merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya segala sesuatu itu wujud
dalam realitas dan karena morfe-nya segala sesuatu itu mengandung arti
hakikat sebagai sesuatu.
Pandangan hulemorfisme Aristoteles itu sejalan dengan teori aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan sedangkan potensi adalah dasar kemungkinan. Segala sesuatu itu sungguh-sungguh karena aktus-nya dan mungkin (mengalami perubahan dinamis) karena potensi-nya. Jadi jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkret maka hule merupakan potensinya, dan morfe adalah aktusnya.
Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-macaman atau
keanekaragaman) ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamis
yang bergerak menuju ke bentuk-bentuk aktus yang murni. Sedangkan aktus murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat tetap, tidak berubah-ubah dan abadi.
Untuk mengetahui makna hakikat setiap sesuatu maka Aristoteles mengembangkan teori pengetahuan dengan menempuh jalan dengan “metode abstraksi’. Menurutnya, pengetahuan itu ada dua jenis, yaitu pengetahuan indera dan pengetahuan budi.
Pengetahuan indera bertujuan untuk mencapai pengenalan tentang hal-hal
konkret yang bermacam-macam dan serba berubah. Adapun pengetahuan budi
bertujuan untuk mencpai sesuatu yang abstrak, umum dan tetap (abadi),
dan inilah yang kemudian oleh dia disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Antara
kedua jenis pengetahuan tersebut ada satu kesatuan struktural. Obyek
pengetahuan itu bermacam-macam dan bersifat konkret. Karena itu selalu
berada di dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan. Obyek yang
demikian itu dikenal oleh indera, untuk kemudian diolah oleh akal budi.
Akal budi bertugas mencari ide yang sama yang terkandung di dalam
keanekaragaman itu sebagai pengetahuan yang macamnya hanya satu dan
karena itu bersifat umum, tetap dan abstrak. Ide
yang merupakan pengertian umum ada bersama-sama dengan macam-macam hal
yang konkret. Jadi idea itu ada di dalam realitas konkret. Misalnya, di
dalam realitas konkret ada bermacam-macam manusia, di dalamnya
terkandung kesamaan sebagai manusia, yaitu idea
manusia. Oleh sebab itu Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles
menerima baik permacam-macaman maupun idea kesamaan itu sebagai hal yang
realistik adanya, sedangkan Plato menolak permcaman itu sebagai
kebenaran (yang bermacam-macam itu semu atau bayangan) dan menerima
dunia idea sebagai kebenaran satu-satunya.
3. Stoisisme : Zeno (300 SM)
Konon, tempat Zeno (300 SM) memberikan pelajaran kepada murid-muridnya adalah di sebuah serambi bertiang bernama Stao.
Menurut Zeno alam semesta ini berintikan logos atau rasio. Logos ini
menentukan seluruh kejadian dunia yang berlangsung menurut ketetapan
yang pasti (tidak dapat dielakkan). Agar manusia dapat hidup bahagia,
maka seluruh tindakannya harus didasarkan kepada kemampuan rasionya.
Dengan rasio, manusia dapat mengenal tatanan universal alam semesta.
Dengan demikian, manusia akan dapat mengendalikan hawa nafsunya. Untuk
dapat mengendalikan hawa nafsu, orang harus memahami dan menyadari
dirinya sendiri bahwa diri manusia itu berada sepenuhnya di bawah hukum
alam. Ajaran Zeno dapat disistematiskan sebagai “sebidang kebun” (filsafat), tanahnya merupakan “fisika”, pagarnya adalah “logika” dan buahnya adalah “etika”.
4. Epikurisme : Epikuros (341-279 SM)
Mirip
dengan Stoisisme, epikurisme juga menekankan ajarannya pada ajaran
etika. Orang harus hidup bijaksana dan bahagia. Untuk itu, manusia harus
mengakui susunan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan
kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Tetapi jika
terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu
orang perlu membatasi diri dengan mengutamakan kesenagan batin.
5. Neo-Platonisme : Plotinus (205-270 M)
Aliran ini mencoba menghidupkan kembali paham filsafat lainnya. Neo-Platonisme termasuk aliran yang bersifat monistik.
Paham ini mengatakan bahwa semuanya ini berasal dari “yang satu”
(Tuhan) dan semuanya ini cenderung akan kembali kepada-Nya. Antara “yang
satu” dengan semuanya ini merupakan satu kesatuan. Pada hakikatnya
keduanya adalah satu dan sama. Dengan kata lain, segala sesuatu ini
berhakikat Tuhan, semuanya ini merupakan pancaran Tuhan. Karena itu
ajaran Plotinus disebut sebagai yang bersifat panteistik (serba Tuhan).
6. Skolastisisme
Skolastisisme
merupakan aliran filsafat yang mulai muncul di Eropa pada sekitar abad
ke 5 sampai ke 13. Munculnya aliran ini sebagai akibat dari ditutupnya
pendidikan kefilsafatan aliran Yunani kuno. Sementara itu agama Kristen
tampil sebagai pengganti kesenjangan kehidupan ruhani. Tetapi pada
kenyataannya, agama Kristen tidak sama sekali meninggalkan nilai-nilai
kefilsafatan Yunani kuno, bahkan lahirlah suatu perguruan yang di
samping mengajarkan nilai-nilai agama juga mengajarkan nilai-nilai
kefilsafatan. Dari perguruan inilah lahir aliran kefilsafatan scholastic.
Skolastisisme
mengembangkan ajaran filsafat berdasarkan nilai-nilai agama Kristiani.
Antara kemampuan akal budi dan kebenaran wahyu tidak dipertentangkan,
sebab jika akal budi secara terus menerus dan konsisten, intensif dan
efektif didayagunakan, maka pada akhirnya pasti akan sampai juga pada
kebenaran mutlak, seperti yang dijelaskan oleh wahyu. Jadi, bolehlah
dikatakan bahwa pemikrian kefilsafatan gaya skolastik ini di bawah
penerangan wahyu atau agama.Perkembangan skolastisisme ini didukung oleh
tokoh-tokoh antara lain : Anselmus (1033-1109), Abelardus (1079-1143),
Albertus Magnus (1203-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Ynag
terakhir ini adalah yang paling populer, sehingga melahirkan aliran
bernama Thomisme. Dan dia terkenal karena kemiripannya dengan filsafat
Aristoteles.
7. Rasionalisme
Aliran
ini memandang budi atau rasio sebgai sumber dan pangkal dari segala
pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampuk pimpinan
dalam segala bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya, yang
sama sekali menyisihkan pengetahuan indera. Sebab, pengetahuan indera
hanya menyesatkan saja. Dengan metode “keragu-raguan”
pemikir Rene Descartes (1596-1650) ini mencapai kepastian. Jika orang
ragu-ragu, maka tampaklah bahwa ia berfikir dan juga tampak dengan
segera adanya sebab berefikir itu. Oleh karena itu dari metode keraguan
ini muncul kepastian tentang adanya diri sendiri. Dirumuskan olehnya
dengan istilah “ogitoergosum” yang artinya “saya berfikir, saya ada”. Tokoh lainnya adalah Barouch Spinoza (1632-167) dan Leibniz (1646-1716).
8. Empirisme
Aliran
ini mengatakan bahwa bukanlah budi yang menjadi sumber dan pangkal
pengetahuan, melainkan indera atau pengalaman. Aliran ini sealnjutnya
memandang bahwa filsafat tidak ada gunanya bagi hidup, yang berguna
adalah ilmu yang diperoleh melalui indera atau pengalaman dan hanya
pengetahuan niliah yang pasti benar. Jadi jelaslah bahwa umumnya aliran -
yang merupakan lawan rasionalisme
- ini tidak mau berfilsafat. Tapi ada juga yang mau berfilsafat dan
mengadakan sistem, seperti Prancis Bacon (1210-1292),Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776). Jika
kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikarunai
idea oleh Tuhan yang dinamakan ideainnatae
(ide terang benderang atau ide bawaan), maka pendapt kaum empiris
berlawanan atau sebaliknya, yakni bahwa sejak lahir jiwa manusia adalah tabularasa (putih bersih), tidak ada bekal dari siapapun berupa ideainnatae.
9. Kritisisme : Immanuel Kant
Immanuel
Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman, mencoba mengatasi pertikaian
antara rasionalisme dan empirisme. Dia mengatakan bahwa masing-masing
aliran itu mamiliki kedaulatan tetapi jika diberikan kedaulatan,
masing-masing juga menemui kesulitan tersendiri. Pada mulanya Kant
mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Dalam
menghadapi empirisme ia tidak begitu saja menerimanya, karena tahu bahwa
empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. Pada satu pihak dia
mengakui kebenaran pengetahuan indera dan di sisi lain diakuinya pula
bahwa budi pun mampu mencapai kebenaran. Tetapi syarat-syaratnya harus
dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan budi dan
akan diterangkan apa sebabnya, maka dari hal itulah pengetahuan itu
menjadi mungkin. Itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut Kritisisme.
Sedangkan
cara-cara mengkompromisasikan antara kedaulatan akal budi dengan
pengalaman adalah sebagai berikut : “bagaimanapun fungsi akal adalah
yang pertama dan utama, namun akal harus mengakui persoalan-persoalan
yang ada di luar jangkauannnya. Pada
waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di
mana ketentuan-ketentuan akal itu tidak beraku lagi, dan sejak itulah
fungsi pengalaman tempil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan”.
10. Idealisme
Ketidakpuasan terhadap paham Immanuel Kant (kritisisme) justru muncul dari murid-muridnya sendiri. Yang menjadi sumber ketidakpuasan mereka adalah ungkapan Kant bahwa “akal
manusia tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan
sampai pada pengetahuan tentang fenomena atau gejala-gejalan saja”.
Para murid Kant yang setia bahkan berbalik menyerangnya dan mereka akan
bermetafisika mencari suatu dasar perenungan mereka. Dari dasar itulah
akan di bangun suatu sistem metafisika. Mereka sangat memperhatikan
kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat pada dasar tindakan.
Hal itu adalah “aku” yang
merupakan subyek yang se-konkret-kongkretnya. Dari suatu dasar
menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang
keseluruhan yang ada. Yang ada itulah yang disebut dengan liran idealisme.
Karena aliran ini berdasarkan subyek, maka ada yang menyebutnya
idealisme subyektif. Tokohnya paling terkenal adalah J.O. Fichte
(1762-1814), FWJ. Schelling (1775-1854) dan GWF. Hegel (1770-1830)
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang tinggi kepada aku sehingga dikatakan bahwa aku adalah satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti karena aku yang
otomon dan merdeka menempatkan diri menjadi sadar akan obyek yang
dihadapi dan diatasi. Perkembangannya terletak sepenuhnya pada hasil
pengatasan obyek (bukan aku). Oleh karena itu nampaklah bahwa aku
ini sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan kriteria terakhir
dari kebenaran pengetahuan. Maka idealisme Fichte ini nampak sangat
subyektif.
Pandangan
yang lebih jauh dan luas tentang hal ini adalah sebagaimana dikemukakan
oleh Schelling, yang mengakui bahwa obyek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Kalau Fichte mengatakan bahwa adanya obyek itu tergantung aku
(subyek) atau obyek (bukan aku) itu muncul dari subyek (aku), maka
schelling tidak demikian. Dia mengatakan bahwa aku (subyek) itu muncul
dari alam (obyek / bukan aku) yang sungguh-sungguh ada. Akan tetapi
munculnya aku dari alam
adalah yang telah sadar. Jadi, nampak ada keserasian dengan pandangan
Fichte. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kedudukan budi dan alam adalah
sederajat, yaitu berhadapan sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya
keduanya muncul dari Tuhan sebagai identitas yang mutlak. Alam yang
muncul dari Tuhan semakin tinggi derajatnya, dan budi yang juga muncul
dari Tuhan akan menyadari dirinya lalu menjelmakan ilmu, moral, sejarah,
negara dan sebagainya. Oleh karena Schelling mengakui adanya obyek
sebagai realitas, maka idealismenya disebut idealisme obyektif.
Sementara itu idealisme Hegel dikatakan sangat konsekuen, dan corak umum filsafatnya dikenal dengan “dialektika”, yaitu tesis yang menimbulkan antitesis dan membentuk sintetsis, dan sintesis
ini sekaligus merupakan tesis baru yang menimbulkan antitesis dan
membentuk sitesis-sintesis baru, dan begitu seterusnya. Filsafat Hegel
mencari yang mutlak dan yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah ruh
(jiwa), tetapi ruh itu menjelma pada alam, dan dengan demikian sadarlah
akan dirinya. Ruh adalah idea, yang artinya pikiran. Dalam sejarah
kemanusiaan sadarlah ruh itu akan dirinya dan kemanusiaan merupakan
bagian dari idea yang mutlak, yakni Tuhan sendiri. Dikatakan selanjutnya
bahwa idea yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan
gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis yang dengan sendirinya
menimbulkan gerak yang berlawanan, yaitu antitesis. Dengan tesis gerak
yang mutlak kemudian muncul antitesis pada akhirnya menimbulkan sintesis
yang sekaligus merupakan tesis baru dan menimbulkan pula antitesis dan
sintetis baru, dan begitulah seterunya.
Jadi
dari filsafat Hegel ini memberikan suatu kesimpulan bahwa pada
hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan
tidak berubah yang melatarbelakangi sesuatu hal. Proses
gerak secara dialektik itu dapat berlaku pada segala kejadian dan
menurut hukum budi. Karena itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa
semua yang masuk akal itu sunguh-sungguh ada dan apa yang
sungguh-sungguh ada itu dapat dipahami. Menurut rangkaian pemikiran
Hegel, ada tiga cabang filsafat, yaitu : a) logika atau filsafat tentang
idea, b) filsafat alam (idea yang menjelma pada alam) dan c) filsafat
ruh (idea yang kembali pada diri sendiri).
11. Positivisme
Di
Perancis, orang mengalami suatu revolusi yang hebat dengan ditandai
dengan tumbangnya kedudukan wahyu dan agama, diganti oleh tradisi
sebagai pegangan dan kepastian pikiran. Aliran ini disebut dengan tradisionalisme. Di sisi lain muncul pula aliran baru bernama positivisme
yang di tokohi oleh August Comte (1798-1857). Menurut August Comte,
jiwa dan dan budi (akal) adalah basis dari teraturnya masyarakat. Karena
itu, jiwa dan budi harus mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang.
Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya hidup dengan mengabdi pada
ilmu positif, yaitu matematika, fisika, biologi dan ilmu kemasyarakatan.
Adapun yang tidak positif dapat dialami, dan sebaliknya orang akan
bersikap tidak tahu menahu. Budi itu mengalami ting tingkatan sebagai
berikut :
· Tingkat teologi, yang menerangkan segala sesuatunya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.
· Tingkat metafisis, yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi.
· Tingkat positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Tokoh
aliran positivisme antara lain : H. Taine (1828-1893), yang mendasarkan
positivismenya pada ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesusasteraan,
Emile Dulkheim (1858-1917) yang menjadikan positivisme sebagai asas
sosiologis dan John Stuart Mill (1806-1873) yang menggunakan sistim
positivisme pada ilmu jiwa, logika dan kesusasteraan.
12. Evolusionisme
Akibat perkembangan aliran positivisme, maka lahirlah aliran “evolusionisme”
dengan tokoh yang paling terkenal adalah Charles Darwin (1809-1828) dan
Herbert Spencer (1820-1903). Darwin mengajarkan teori perkembangan (evolusi)
bagi segala sesuatu, termasuk manusia. Manusia menurutnya merupakan
perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam,
yang juga diatur oleh hukum-hukum mekanik. Hukum survival of the fittest (kelangsungan hidup yang terkuat) dan struggle for live
(perjuangan hidup untuk bertahan hidup) dari tumbuh-tunbuhan dab hewan
berlaku pula bagi manusia, dan hal itu merupakan hukum tertinggi bagi
manusia. Karena itulah Darwin sampai memandang bahwa manusia itu tidak
berbeda dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta dengan benda apapun.
Akibatnya, akan ada suatu predikat yang muncul dari teori perkembangan
ini, yaitu kemungkinan di kemudian hari akan muncul manusia yang lebih
sempurna dari manusia yang ada sekarang. Karena itu ditinjau dari segi
filsafat, pada pokoknya teori ini tidak berbeda dengan pandangan
positivisme mengenai pendapatnya tentang ilmu pengetahuan. Manusia
tidaklah tahu tentang hal-hal yang mengatasi pengalaman, karena itu yang
sungguh-sungguh ada yaitu yang dialami, sedangkan yang lain bukanlah
kesungguhan disebut Darwinisme.
Lebih
lanjut Herbert Spencer memberikan kemajuan pada sistem filsafat manurut
evolusionisme Ia berpendapat bahwa yang dapat dikenal adalah yang menjadi bukan yang ada.
Ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan “yang menjadi” tersebut. Ilmu
mempunyai pangkalnya pada beberapa kebenaran apriori : ketidakmusnahan
bahan, kehendak gerak dan pertahanan kekuatan. Proses dunia ini tiada
lain merupajan berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Karena itu evolusi
adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integral) dalam baahan, yang
dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak. Jadi, hidup adalah
peralihan dari bahan mati. Evolusi memberikan keterangan tentang
hubungan yang ada di antara gejala-gejala. Akan tetapi evolusi tidak
memberi keterangan terakhir tentang adanya gejala-gejala itu.
13. Materialisme
Positivisme
dan evolusionisme pada prinsipnya mengingkari jiwa, hidup dan mati
manusia itu tidak berbeda, sebagaimana evolusionisme gerak atau
perkembangan menghasilkan sesuatu dengan sendirinya. Dari keterangan
bahwa semua gerak dan perkembangan tidak ada yang menyebabkan, maka
aliran ini disebut materialisme.
Materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala seautu adalah
bahan belaka. Pandangan ini menemukan kejayaannya pada abad ke 19 dan di
Eropa sangat terasa pengaruhnya, misalnya di Prancis yang dipelopori
oleh Lamettrie (1709-1751). Menurut Lamettrie manusia adalah mesin
belaka dan sama dengan benatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari
dengan menunjukkan bukti bahwa “tanpa jiwa badan dapat hidup”, tetapi
jiwa tanpa badan tidak dapat hidup. Contohnya jantung katak yang
dikeluarkan dari tubuhnya masih dapat berdenyut beberap detik, namun
sebaliknya tidak mungkin ada katak tanpa badan. Materialisme ini meluas
sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya yang terkenal Feuebach
(1804-1872), Buchner dan Molenschot
Menurut
Feuebach alam adalah satu-satunya realitas, sehingga dikatakan bahwa
manusia pun benda-benda alam. Pengetahuan memperoleh sumbernya pada
pengalaman. Tujuan hidup diarahkan pada alam ini, dan apa yang ada di
luar alam ditolak. Kebahagiaan terletak pada kepuasan hidup alamiah.
Kesusilaan hanyalah sebagai usaha untuk mencapai kebahagiaan alamiah
tersebut. Namun demikian, kebahagiaan tidak berdasar pada egoisme
melainkan pada sosialitas. Susila adalah suatu tindakan yang tearah
menuju kebahagiaan bersama. Hubungan aku dan kau merupakan inti
kemanusiaan, maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti milik
bersama. Jadi dasar kebahagiaan adalah pengalaman sedangkan dasar
kesusilaan sebagai alat untuk mencpai kebahagia-an juga dari pengalaman.
Dari pengalaman kita tahu bahwa usaha mencari kebahagiaan itu harus
mengindahkan kebahagiaan orang lain. Meskipun Feuebach menitikberatkan
pada alam sebagai terminologi, akan tetapi dia adalah seorang materialis
yang menghargai dan mengakui hidup bahkan baginya hidup adalah dasar
yang utama, namun hidup yang berada dalam alam belaka.
Tokoh
materialisme yang lain adalah Karl Marx (1818-1883) dengan paham yang
lebih runcing dan ekstrim. Dia terpengaruh oleh Hegel dan Feuebach. Dari
Hegel diterima ajaran dialektika dan pendapat lain tentang hubungan
rapat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Dari Feuerbach diterima
ajaran tentang kecenderungan terhadap keruhanian yang dapat dikembalikan
pada jasmani dan pengarahan minat kepada manusia yang hidup di dalam
masyarakat. Marx menghubungkan rapat-rapat antara filsafat dan ekonomi.
Yang terutama baginya adalah bertindak,
bukan hanya kehendak dan tahu saja. Sedangkan tugas akhir bagi ahli
pikir adalah mengubah dunia, bukan menerangkan tentang dunia.
Dikatakan
selanjutnya bahwa hidup manusia ditentukan oleh keadaan-keadaan
ekonomi. Segala hasil tindakannya (ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum
dan politik) merupakan endapan dari keadaan ekonomi,
dan keadaan ekonomi itu sendiri ditentukan sepenuhnya oleh sejarah.
Masyarakat pada mulanya tidak mengenal pertentangan-pertentangan dalam
tingakatannya, kemudian oleh karena adanya keahlian dalam pekerjaan dan karena adanya milik maka muncullah tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Karena itu lahirlah golongan berada dan golongan miskin yang masing-masing disebut sebagai golongan kapitalis dan golongan proletariat.
Kadua golongan ini selalu bertentangan dan semakin besar juga
pengaruhnya, sehingga meletuslah revolusi. Kaum proletar kemudian
mengambil alih kekuasaan dari kaum kapitalis. Bila demikian,
makamuncullah suatu masyarakat tanpa kelas yang berarti kepemilikan ada
pada masyarakat atau negara. Dan negara itu tidak nasional melainkan
internasional dan inilah akhir sejarah.
Adapun
manusia, kata Marx, ditentukan oleh alam di atas kodratnya yang
dipandang dari sudut kemasyarakatannya. Jadi manusia individu tidak
bermakna, dan dianggap manusia sejauh ia bermasyarkat. Selanjutnya
masyarakat itu harus berkembang, dan perkembangannya itu disebut sejarah.
Perkembangan sejarah harus didorong oleh kekuatan-kekuatan untuk
menghasilkan. Jadi ada identitas antara perkembangan masyarakat dengan
perkembangan materi. Ditambahkan bahwa yang nyata dari perkembangan
masyarakat adalah dorongan untuk hidup, yaitu makan, minum, pakaian dan
lain-lain yang hal ini diusahakan oleh manusia sendiri. Dan untuk
mengusahakannya diperlukan alat-alat yang kesemuanya adalah materi
belaka, sementara yang diusahakan juga materi. Karena itulah keseluruhan
perkembangan ditentukan oleh materi. Paham ini selanjutnya disebut materialisme historis.
Lain
daripada itu, untuk mewujudkan cita-cita maka golongan tak bermilik
haruslah menghapus kaum bermilik (kapitalis yang merupakan lawan).
Menurut analisis Marx, satu-satunya senjata kaum kapitalis adalah agama
yang oleh dia dianggap sebagai racun bagi rakyat.
Oleh karena itu agama harus dihapus, sebab hal itu tidak berguna sama
sekali bagi kaum proletar dan tidak perlu ada kebahagiaan di kemudian
hari. Proletariat tidak beragama tapi berfilsafat, dengan filsafat
dialektik dan berpolitik dengan partai komunis, sedangkan isi ilmu, seni
dan kesusilaan ditentukan oleh kaum miskin.
Meskipun
tampak dalam sejarah bahwa materialisme mempunyai pengaruh yang besar,
namun pada saat itu pula ada perlawanan yang hebat dari aliran idealisme
yang juga besar pengaruhnya. Gerakan idealisme ini menganjurkan ajaran
Kant agar para filsuf kembali kepada filsafat. Gerakan ini didukung oleh
murid-murid Kant dan dinamakan “Neo-Kantianisme” dengan tokohnya antara lain H. Cohen dan Paul Natorp (1854-1924) yang keduanya termasuk penganut aliran Marburg.
gala sesuatu itu cukup bagi dirinya sendiri.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2000, hal. 9
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. II 1999, hal.6
[3] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 10
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : 1999, hal. 1
[5] Ahmad Tafsir, Op. Cit. hal. 21
[6] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Penerbit Kansius, cet. 6, 2001, hal. 93
[7] Kata “sofis” mengandung arti tipuan, hipokret dan sinis. Selanjutnya baca Ahmad Tafsir, ibid, hal. 50 - 51
[8] Selengkapnya baca ; Ahmad Tafsir, op. cit. hal. 66 dan seterusnya
[10] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahaun Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hal. 4 - 7
[15] Amsal Bachtiar, Op. Cit. hal. 55
[16] Ibid, hal 80
[17] Ibid, hal. 195
[18] Ahmad Tafsir, Op. Cit
[19] Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, Cet. ke 7 1996 : 302 dan seterusnya
[20] Ibid. hal. 265
[21] Amsal Bachtiar, Op. Cit. hal. 195
[22] Louis O. Kattsof, Op. Cit, hal. 266
[23] Ibid