Posted by : Unknown
Jumat, 17 Mei 2013
Konsep Diri
Charles Horton Cooley (1864-1929),
mengatakan bahwa kita dapat mempersepsi diri sendiri dengan berperan
sebagai subjek
dan objek persepsi sekaligus. Bagaimana boleh
terjadi? Kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang
lain;
dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini
dengan looking-glass self
(diri cermin);
seakan-akan kita menaruh cermin didepan kita.
Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak oleh orang lain; kita
melihat
sekilas diri kita seperti dalam cermin.
Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan
bagaimana orang lain
menilai penampilan kita. Kita fikir mereka
menganggap diri kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan
bangga atau
keewa, mungkin juga merasa sedih atau malu.
Ini sejalan dengan pandangan William James yang membedakan antara The
I,diri yang
sadar dan aktif, dan The me, diri yang
menjadi objek renungan kita.
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran
dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri (self-concept). Lalu apa yang
disebut konsep diri itu? William D. Brooks mendefinisikannya dengan those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction
with others. Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh jadi bersifat fisik (seperti pada contoh pertama diatas), sosial (contoh kedua),
dan psikologi (contoh ketiga).
Konsep
diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif,
tetapi juga penilaian anda tentang diri anda.
Konsep diri meliputi apa yang anda fikirkan, dan apa yang anda rasakan
tentang
diri anda. Karena itu, Anit Taylor,et al.,
mendefinisikannya sebagai all you think
and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself.
Ada
dua komponen konsep diri: komponen
kognitif dan komponen afektif. Boleh jadi
komponen kognitif anda berupa, saya ini orang bodoh, dan komponen
afektif anda berkata
saya senang diri saya bodoh, ini lebih baik
bagi saya. Dan boleh jadi komponen kognitif anda seperti tadi, tetapi
komponen
afektif anda berbunyi saya malu sekali,
karena saya menjadi orang bodoh. Dalam psikologi sosial komponen
kognitif itu disebut
citra diri (self-image), dan komponen afektif disebut harga diri (self-esteem).
Keduanya , menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, berpengaruh
besar pada pola
komunikasi interpersonal. Konsep diri juga
berpengaruh pada hubungan sosial dan hidup bermasyarakat. (Rakhmat,
1993: 99-100)
Konsep Diri dan Perilaku
Suatu
perkara yang sama akan menimbulkan perilaku yang
berlainan bila terdapat pada orang-orang yang
memiliki konsep diri yang berbeda. Konsep diri ada yang positif dan ada
pula
yang negatif. Konsep diri yang positif akan
menimbulkan perilaku yang positif. Sedangkan konsep diri yang negatif
akan menimbulkan
perilaku yang negatif pula. Dalam bahasa
agama islam, yang pertama disebut al-akhlaqul mahmudah (akhlak yang
terpuji), dan
kedua disebut al-akhlaqul mazmumah (akhlak
yang tercela).
Bagi
Firaun kerajaan yang dimilikinya telah membuat
ia takabur, sehingga ia mengaku menjadi Tuhan
(Q.S.79:24). Tetapi, bagi nabi Sulaiman tidak membuatnya sombong, ini
adalah
karunia dari Tuhanku, Ia
ingin mengujiku, apakah aku
akan bersyukur atau inkar. Barangsiapa yang
bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya, dan barangsiapa
yang ingkar,
sesungguhnya Tuhanku maha kaya lagi maha
mulia (Q.S.27:40). Walaupun keduanya sama-sama memiliki kerajaan yang
besar, tetapi
masing-masing mempunyai perilaku yang
berbeda. Yang pertama mewakili konsep diri yang negatif, sedangkan yang
kedua merupakan
konsep diri yang positif. Boleh jadi keduanya
mempunyai komponen kognitif yang sama, saya adalah seorang raja yang
besar,
tetapi keduanya berbeda dalam komponen
afektif yang membentuk konsep diri masing-masing, kerajaan ini milik
saya, dan kekuasaan
saya mutlak, tidak boleh diganggu-gugat (bagi
yang pertama), dan kerajaan ini amanah dari Allah swt. dan kekuasaan
saya mesti
saya pergunakan sesuai dengan petunjuknya
(bagi yang kedua).
Setiap orang cenderung untuk bertingkah laku sesuai
dengan konsep diri masing-masing, ini disebut dengan nubuwat yang dipenuhi sendiri
(self-fulfilling prophecy). Jika anda
berfikir bahwa anda adalah seorang pekerja yang baik, anda akan bekerja
dengan tekun,
datang on time, dan melaksanakan pekerjaan
dengan sebaik-baiknya. Bila si Fulan merasa bahwa dirinya adalah seorang
muslim
yang taat, ia akan rajin beribadah, sering
mengikuti pengajian agama, melakukan perintah agamanya dan meninggalkan
larangannya.
Demikianlah seterusnya. Anda berusaha hidup
sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda. Hubungan konsep
diri dengan
perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan
ucapan para penganjur berfikir positif: You
dont think what you are, you are what you think.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Pertama, orang lain.
Harry
Stack Sullivan menjelaskan bahwa jika kita diterima
orang lain, dihormati, dan disenangi karena
keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima
diri
kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu
meremehkan kita, menyalahkan kita, dan menolak keberadaan kita, kita
akan cenderung
tidak menyenangi diri kita. Kita mengenal
diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda
menilai diri saya
akan mempengaruhi dan membentuk konsep diri
saya. Itulah sebabnya Gabriel Marcel, dalam The
Mystery of Being, menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita: The
fact is that we can understand ourselves by
starting from the other, or from others, and only by starting from them.
Tidak
semua orang mempunyai pengaruh yang sama pada
diri kita, ada yang paling berpengaruh, yaitu
orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. Mereka disebut oleh
George Herbert
Mead dengan significant others (orang lain
yang sangat penting). Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua
kita, saudara-saudara
kita, dan orang-orang yang serumah dengan
kita. Richard Dewey dan W.J.Humber menamainya dengan affective others
(orang lain
yang dengan mereka kita mempunyai ikatan
emosional). Dari merekalah kita perlahan-lahan membentuk konsep diri.
Senyuman, pujian,
penghargaan dan pelukan mereka, menyebabkan
kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, kritikan, dan
hardikan
membuat kita memandang diri kita secara
negatif.
Dalam
usia remaja, significant others itu meliputi semua
orang yang mempengaruhi perilaku kita,
pemikiran kita, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita,
membentuk fikiran
kita dan menyentuh kita secara emosional.
Orang-orang ini boleh jadi masih hidup, atau sudah mati. Anda mungkin
memasukkan
disitu idola anda, - pelakon, pahlawan
kemerdekaan, pelaku sejarah, atau.orang yang anda cintai diam-diam.
Kedua, kelompok rujukan (reference group)
Ada
kelompok yang secara emosional mengikat kita
dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini disebut
kelompok rujukan.
Setiap kelompok mempunyai norma-norma
tertentu. Orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan diri dengan
ciri-ciri kelompoknya.
Jika anda menjadi anggota kumpulan doktor,
anda akan menjadikan norma-norma dalam kumpulan itu sebagai ukuran
perilaku anda,
anda juga merasa diri menjadi bagian dari
kumpulan tersebut. Begitu juga jika anda salah seorang dari kelompok
mujahidin,
KMM misalnya, atau Al-Maunah, atau..Black
Metal. Demikianlah seterusnya.
Agama dan Konsep Diri
Didalam
Al-Quran disebutkan, dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya; sesungguhnya beruntunglah
orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya (Q.S.91:7-10). Jadi manusia diberi
pengetahuan
tentang hal-hal yang positif dan negatif.
Selanjutnya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan mana yang
akan dia tempuh.
Manusia punya potensi untuk menjadi jahat,
sebagaimana ia juga punya potensi untuk menjadi baik.
Agama
(Islam) datang untuk mempertegas konsep diri yang positif bagi
umat manusia. Manusia adalah makhluk yang
termulia dari segala ciptaan Tuhan (Q.S.17:70). Karena itu, ia diberi
amanah untuk
memimpin dunia ini (Q.S.2:30). Walaupun
demikian, manusia dapat pula jatuh kederjat yang paling rendah, kecuali
orang-orang
yang beriman dan beramal sholeh (Q.S.95:6).
Keimanan akan membimbing kita untuk membentuk konsep diri yang positif,
dan konsep
diri yang positif akan melahirkan perilaku
yang positif pula, yang dalam bahasa agama disebut amal sholeh. Tidak sedikit
ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran yang menyebut kata iman dan
diiringi oleh kata
amal (allazina amanu wa amilus-sholihat), ini
bukan saja menunjukkan eratnya hubungan diantara keduanya, tetapi juga
menunjukkan
betapa pentingnya iman dan amal tersebut,
sehingga nilai seseorang ditentukan oleh iman dan amalnya juga.
Sesungguhnya Allah
Taala tidak akan melihat kepada bentuk (rupa)
kamu, tidak pula keturunan (bangsa) kamu, tidak juga harta kamu; tetapi
, ia
melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan
kamu. (H.R.At-Thabrani). Semua manusia adalah sama disisi Allah, yang
lebih mulia
hanyalah orang yang paling bertakwa
(Q.S.49:13).
Memang
diakui adanya kemungkinan seseorang akan dapat
dipengaruhi oleh lingkungan teman
sepergaulannya sebagai reference group (Q.S.2:14; 17:73; 37:51-53;
41:25; 43:67) dan bujuk
rayu syaithon (Q.S.4:38; 6:43; 8:48;
25:28-29;
27:24), tetapi semua itu tidak akan berbekas
jika seseorang memiliki keimanan yang tangguh (Q.S.5:105; 17:65). Itulah
sebabnya
Rasulullah saw. menghabiskan masa 13 tahun di
Mekah untuk menanamkan keimanan kepada para pengikutnya.
Islam juga memerintahkan agar umatnya menciptakan masyarakat
yang harmoni, - baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Islam melarang umatnya supaya
tidak saling mencela, saling mencemooh, dan
jangan memberi gelaran yang jelek (Q.S.49:11). Celaan dan gelaran yang
jelek akan
dapat mempengaruhi konsep diri seseorang.
Disamping itu, Rasul memerintahkan supaya anak yang lahir diberi nama
yang baik.
Nabi sendiri banyak
mengganti nama para sahabatnya. Ketika seorang sahabat menyebut
namanya Hazn (dukacita), Nabi menggantinya
dengan Farh (sukacita); Al-Mudhtaji (yang terbaring) diganti oleh Nabi
dengan Al-Munbaits
(yang bangkit); orang yang namanya Harb
(perang) diganti nabi dengan Silm (damai), dan banyak lagi yang lain.
Beliau juga
banyak memberi gelaran yang baik kepada
sahabatnya. Abu bakar digelari dengan As-shiddiq (yang sangat benar),
Umar digelari
dengan Al-Faruq (pemisah antara yang hak dan
yang bathil), Kholid diberi gelar Saifullah (pedang Allah), Abu Ubaidah
digelari
dengan Aminul Ummat (penjaga amanat umat),
dan lain sebagainya.
Para
psikolog modern dikemudian hari menyadari
betapa pentingnya nama dalam membentuk konsep
diri, secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image)
yang
terkandung didalam namanya. Teori Labelling (penamaan)
menjelaskan kemungkinan
seseorang menjadi jahat karena masyarakat
menamainya atau menggelarinya sebagai penjahat. Berilah gelar anak anda
si nakal,
insya Allah seumur hidup ia akan tetap nakal. Memang
boleh jadi orang akan berperilaku
yang bertentangan dengan namanya. Amin
mungkin menjadi penipu, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia
boleh jadi mengganti
namanya, atau mengubah perilakunya.
Islam
juga menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak, terutama
dalam keluarga. Pendidikan yang diterima
seseorang dimasa kecil akan dapat mempengaruhi konsep dirinya dikemudian
hari. Banyak
orang tua yang kurang memahami makna
pendidikan; mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
hanyalah pendidikan
yang disengaja saja (seperti mengajarkan
nilai-nilai moral kepada anak-anak, dan lain sebagainya) yang ditujukan
kepada objek
didik, yaitu anak. Yang lebih penting adalah
keadaan dan suasana rumah tangga, keadaan jiwa ibu bapak,hubungan antara
satu
sama lainnya, dan sikap mereka terhadap rumah
tangga dan anak-anak. Segala persoalan orang tua itu akan mempengaruhi
jiwa
anak-anak, dan akan ikut membentuk konsep
diri mereka. Karena itu keluarga dituntut supaya memberikan ketenteraman
(sakinah),
kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan rasa
aman kepada anak-anak. Nabi berkata: Orang yang paling baik diantara
kamu adalah
orang yang paling penyayang terhadap
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling sayang terhadap
keluargaku. Beliau menunjukkan
contoh bagaimana ia menyayangi putrinya
Fatimah. Pada saat anak perempuan dipandang rendah, beliau mengangkat
Fatimah. Bila
nabi tengah berada dalam majelis dan melihat
Fatimah datang, ia segera bangkit. Tidak jarang beliau mencium tangan
Fatimah
didepan para sahabatnya, - cium penghormatan
dan kasih sayang sekaligus. Bukan termasuk umatku orang yang tidak
menghormati
yang tua dan tidak menyayangi yang kecil
katanya. Tentang suasana rumah tangganya nabi berkata: Rumah tanggaku
adalah surgaku.
Bila
orang tua gagal memberikan kasih sayang kepada
anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai
orang tua mereka. Dalam pergaulan sosial pun mereka tak akan mampu
mencitai
atau menyayangi orang lain. Pada tahun
1960-an para psikolog terpesona oleh penelitian yang dilakukan oleh
Harry Harlow, dengan
memisahkan anak-anak monyet dari induknya,
kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata
menunjukkan perilaku
yang menyimpang, selalu ketakutan, tidak
dapat menyesuaikan diri, dan sangat mudah terkena penyakit. Setelah
monyet-monyet
itu besar dan melahirkan pula, mereka menjadi
ibu-ibu yang kejam dan berbahaya, mereka tidak memperdulikan
anak-anaknya dan
seringkali melukai mereka. Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu dengan maternal deprivation.
Walaupun
tidak diadakan percobaan terhadap anak-anak
manusia sebagaimana yang dilakukan terhadap
monyet-monyet tadi, tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada
anak-anak
yang mengalami maternal deprivation pada awal
kehidupan mereka. Pada manusia pemisahan anak dari orang tua ini dapat
terjadi
secara fisik (karena perceraian misalnya,
atau meninggal) dan dapat pula terjadi secara psikologis (tidak terpisah
secara
fisik, tetapi tidak mendapat kasih sayang
secara memadai), yang kedua ini disebut masked
deprivation (deprivasi terselubung). Ini
dapat terjadi misalnya karena orang tua terlalu sibuk bekerja, sehingga
tidak
sempat memberikan kasih sayang mereka kepada
anak-anaknya. Anak yang mengalami deprivasi cenderung menderita
kecemasan, merasa
tidak tenteram, rendah diri, kesepian,
agresif, cenderung melawan orang tua, dan pertumbuhan kepribadian mereka
mengalami
keterlambatan, mereka sukar belajar. Bila
berumah tangga, mereka cenderung menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu
menyayangi
anak-anaknya. James Coleman menyebut
kekurangan kasih sayang tersebut dalam Abnormal
Psychology and Modern Life, sebagai Communicable Disease (penyakit menular). Itulah sebabnya Rasul menekankan perlunya
membina kasih sayang dalam keluarga.
Kini
tidak sedikit buku-buku ditulis orang tentang cara
mendidik anak yang merujuk kepada sunnah
Rasul. Banyak tuntunan-tuntunan yang diberikan oleh Nabi yang dapat kita
jadikan
pedoman (sama ada bagi orang tua, atau guru)
dalam menumbuhkan konsep diri yang baik bagi anak-anak kita. Sayang
sekali kami
tidak dapat menuliskannya disini lebih luas
lagi. Tetapi, sebelum menutup tulisan ini, saya hendak menyalinkan
sebuah sajak
yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte (dikutip
oleh Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, dalam bukunya Psikologi Komunikasi) yang bertajuk Childern Learn What They Live (Anak-anak Belajar dari Kehidupan Mereka):
If
a child lives with criticism, he learns to condemn.
/ If a child lives with hostility, he learns
to fight. / If a child lives with ridicule, he learns to be shy. / If a
chidl
lives with shame, he learns to feel guilty. /
If a child lives with tolerance, he learns to be patient. / If a child
lives
with encouragement, he learns to be
confident. / If a child lives with praise, he learns to appreciate. / If
a child lives
with fairness, he learns justice. / If a
child lives with security, he learns to have faith. / If a child lives
with approval,
he learns to like himself. / If a child lives
with acceptance and friendship, he learns to find love in the world.
Terjemahannya kira-kira begini:
Jika
anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
/ jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia
belajar berkelahi. / Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar
rendah
diri. / Jika anak dibesarkan dengan
penghinaan, ia belajar menyesali diri. / Jika anak dibesarkan dengan
toleransi, ia belajar
menahan diri. / Jika anak dibesarkan dengan
dorongan, ia belajar percaya diri. / Jika anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar
menghargai. / Jika anak dibesarkan dengan
sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan, / Jika anak dibesarkan
dengan rasa
aman, ia belajar menaruh kepercayaan. / Jika
anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri. / Jika anak
dibesarkan
dengan kasih sayang dan persahabatan, ia
belajar menemukan cinta dalam kehidupan,
Wallahu alam !
Rujukan:
Al-Quran dan Terjemahannya, Medinah Munawwarah, Mujamma
Al-Malik Fahd Li Thibaati
Al-Mush-haf Asy-Syarief, 1418 H.
AlAmir, Najib Khalid, Tarbiyah Rasulullah,
terj., Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Albaili, Mohamed A., Abdul Qader A., Qassem & Ahmed A. Al-Samadi, Educational Psycho-
logy and its Application, Kuweit: Al-Falah Library,
1997.
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental,
Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990.
El-Quussy, Abdul Aziz, Pokok-Pokok
Kesehatan Jiwa/Mental, terj., Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Fahmi, Musthafa, Penyesuaian Diri,
terj., Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.
----------Islam Aktual, Bandung: Mizan, 1991.
Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyah Al-Aulad
Fi Al-Islam, Al-Ghoriah: Dar Al-Salam, 1997.
|